Ngejowantah

Mendung melingkupi langit maha luas. Sinar matahari hanya samar-samar menyeruak daricelah-celah persinggungan awan mendung. Suasana yang dirasakan tidak mencerahkan, juga tidak menenangkan. Dalam kondisi yang seperti itu, gerobak sapi berjalan nguler kambang dengan dua orang penumpang tampak lesu meneruskan perjalanan.
                Gerobak sapi itu telah melampaui batas-batas kelurahan, kecamatan, dan kabupaten. Tujuannya hanyalah satu;mengambil sebuah tempat pesanggrahan terdekat untuk menyandarkan tubuh yang cukup lelah setelah melakukan perjalanan puluhan kilometer. Penumpangnya hanya dua orang. Penumpang pertama adalah laki-laki yang sekaligus berperan sebagai pengemudi gerobak. Laki-laki itu bernama Yoso; nama panggilan dari nama aslinya yang diambil dari nama salah satu tokoh wayang purwa : Abiyoso. Penumpang yang satunya lagi adalah perempuan yang adalah istrinya sendiri; mengandung dan tinggal menunggu waktu untuk bersalin. Perempuan itu bernama Endang.
                Perjalanan mereka di atas gerobak sapi – menempuh puluhan kilometer – dan memiliki tujuan untuk mengambil nomer pathokan yang akan digunakan sebagai surat yang sah dari bupati untuk membangun rumah. Pada awalnya,pasangan ini tinggal di sebuah tempat yang jauh dari tempat yang dipandangi sekarang.Mereka pergi dari tempat itu karena satu hal : Memala.
                Gerobak sapi tak pernah memiliki kemauan untuk berjalan cepat. Semuanya pelan-pelan dan glenak-glenuk tanpa ada pacuan. Mendung masih melingkupi kala-surup di jalan desa yang saat itu dilewati oleh gerobak sapi yang ditunggangi oleh Yoso dan Endang. Angin semilir meniupkan prakencang-prakencong yang menyebabkan Yoso dan Endang harus segera menemukan tempat nyanggrah; menyandarkan tubuh yang lelah. Kedua sapi yang menarik gerobak pun tampak melengus tanda ingin minum dan duduk nggayemi.
                “Duh, Mas, aku tidak bisa menahan laju kepala bayi ini mas! Sakit dan nyerinya sampai di kepala! Kapan mas nyari pesanggrahan?” Endang sudah tidak bisa bernegosiasi dengan bayinya yang ingin muncul di dunia.
                “Wee.lha, dik! Kita belum lihat rumah daritadi. Kalau firasatku benar ya, tigabedhengan lagi akan banyak rumah warga. Di sini tinggal sawah,sudah ndak ada lagi perbukitan.”
                “Lha iya, cepet mas… kita juga butuh air, genthong air sudah tak minumi semua.”
                Yoso memecutkan oyong rotannya lebih keras supaya sapi-sapi itu lebih bersemangat lagi untuk melawan kelelahan. Lenguhan sapi-sapi itu tak dihiraukan lagi. Yoso hanya merasakan degup jantungnya yang semakin kencang karena anaknya sebentar lagi akan menampakkan diri ke dunia. Siapa sangka, dalam perjalanan pun Yoso merasakan pikiran yang campur aduk antara bahagia, sedih, lelah, lunglai, putus asa, dan semangat demi menenangkan istrinya.
                “Itu mas, di balik pethakan itu ada rumah-rumah. Coba kita mampir ke sana mas.” Endang tak kuat lagi menahan sakit di perut dan sakit di dada akibat kurang asupan air sejak habisnya genthong air mereka.
                “Dik, dikuat-kuatkan dulu ya…sapi-sapi ini tak srengeni biar lebih cepat jalannya.”
                Gerobak sapi yang nguler kambang itu berjalan glenak-glenuk, teramat pelan menuju sebuah perkampungan setelah menuruni bukit beberapa saat sebelum masuk area persawahan.
***
Gerobak sapi itu tetap berjalan bagaikan seseorang yang berlangkah gontai. Teriakan mulai terdengar dari mulut Endang yang menahan sakit di perut karena bayi, sakit di dada karena kurang asupan air, ditambah sakit di kepala karena terlalu sering terkena angin semilir. Mereka telah sampai di batas perkampungan.
                Gerobak sapi yang masuk ke perkampungan itu jadi perhatian beberapa anak-anak kecil yang sudah menerima panggilan berulang-ulang dari orangtuanya. Anak-anak kecil itu dipanggil karena waktu yang kala-surup mengharuskan anak kecil masuk ke dalam rumah dan mandi. Sedangkan para orangtua melihat laju gerobak sapi itu dengan senyumnglengguk saja, tanpa ada kemauan sapa yang lebih dalam.
                Beberapa saat setelah melihat deret-deret rumah warga, Yoso segera turun dari gerobak dan masuk ke halaman depan salah satu rumah. Endang masih berada di atas gerobak. Yoso mengucapkan salam dan menunggu kebaikan pemilik rumah untuk mendengarkan kemauan Yoso. Keluarlah seorang bapak pemilik rumah kecil berpagar hijau itu.
                “Nyuwun Sewu pak, saya datang dari Margomulyo. Saya dan istri saya sedang dalam perjalanan menuju kabupaten Karangsari. Karena istri saya hamil besar dan hendak babaran, saya ingin menumpang di rumah panjenengan untuk nyanggrah supaya istri saya cepat babaran.” Begitulah permohonan Yoso yang langsung menuju maksud asli tanpa basa-basi.
                “Oalah, den… saya ini sedang ketamon sama keponakan. Saya tidak enak kalau ada orang numpang sini. Baiknya, den mas coba lihat rumah limasan yang ada di dekat tiang lampu seberang sana,den mas coba tanya saja sama yang punya. Maaf sekali den…” pemilik rumah itu menyatakan ketidaksanggupan karena alasan yang sesungguhnya basa-basi.
                Tanpa banyak berpikir, Yoso segera naik ke gerobak sapinya dan memacu ke arah seberang jalan. Tidak lama dan memang dekat, Yoso segera turun ke arah rumah limasan dengan pagar bambu. Endang masih berada di atas gerobak. Yoso mengucapkan salam dan menunggu kebaikan pemilik rumah untuk mendengarkan kemauan Yoso. Keluarlah seorang Ibu pemilik rumah limasan berpagar bambu.
                “Nyuwun Sewu bu, saya datang dari Margomulyo. Saya dan istri saya sedang dalam perjalanan menuju kabupaten Karangsari. Karena istri saya hamil besar dan hendak babaran, saya ingin menumpang di rumah panjenengan untuk nyanggrah supaya istri saya cepat babaran.” Begitulah permohonan Yoso yang langsung menuju maksud asli tanpa basa-basi.
                “Wah, aku ndak bisa terima…sudah wayah-surup. Matahari tinggal sepertiga masuk ke dalam bumi, kok bisa-bisanya kamu mau minta tolong? Kalian coba rumah sebelah utara sana,moga-moga orang itu ada tempat buat kalian. Kalau saya, maaf ndak bisa terima…” Ibu ini terlihat yakin dengan pernyataannya.
                Tanpa banyak berpikir, Yoso segera naik ke gerobak sapinya dan memacu ke arah utara. Tidak lama dan memang dekat, Yoso segera turun ke arah rumah kampung dengan pagar dari pohon talok. Endang masih berada di atas gerobak. Yoso mengucapkan salam dan menunggu kebaikan pemilik rumah untuk mendengarkan kemauan Yoso. Keluarlah seorang pemuda pemilik rumah kampung  berpagar pohon talok.
                “Nyuwun Sewu mas, saya datang dari Margomulyo. Saya dan istri saya sedang dalam perjalanan menuju kabupaten Karangsari. Karena istri saya hamil besar dan hendak babaran, saya ingin menumpang di rumah panjenengan untuk nyanggrah supaya istri saya cepat babaran.” Begitulah permohonan Yoso yang langsung menuju maksud asli tanpa basa-basi.
                “Wah, ngapunten sanget mas! Rumah saya sedang ketamon sama teman-teman niyaga karawitan. Mereka hendak malam syukuran kelompok kami. Istrinya mas’esekarang di mana?”
Pemuda ini sedikit perhatian dengan ada pertanyaan secuil.
                “Itu mas, di gerobak saya.” Jawab Yoso sambil menudingkan jari gempalnya ke arah gerobak.
                “Oh, lha udah besar kandungan mas. Saya kasih air kendi saja ya, sama kain blacu. Siapa tahu bisa dipakai buat mas’e sama mbak’e kalau udah mau babaran.”
                “Nggih, maturnuwun mas… saya syukur kok dengan bantuan mas.”
                “Mas’e sama mbak’e baiknya kerumah pak Lurah saja, pasti pak Lurah punya tempat untuk nyanggrahken mas’e sama mbak’e.”
                “Sebelah mana ya mas?”
                “Depan itu, sebelah timurnya gapura pintu keluar pedukuhan.”
                “oh, yang tampak di tanah tinggi itu?”
                “Iya mas’e”
                “Nggih mas, terimakasih banyak mas.”
                Yoso mendapat bantuan. Kain blacu kemul ditambah dengan air kendi yang cukup sejuk untuk diminum oleh Endang. Endang mulai dehidrasi karena daritadi menahan sakit. Yoso pun merasa senang karena mendapatkan bantuan itu. Namun, ada yang terlintas dalam pikiran Yoso. Kenapa pemuda itu tidak ikut serta menunjukkan jalan sambil ikut gerobak? Apa sebabnya pemuda itu memberikan bantuan tetapi langsung masuk rumah tanpa senyum atau basa-basi sejenak? Ah, pikiran itu pun akhirnya ditepis oleh Yoso.
                “Duuh… Gusti! Brangasaaann…Biyuuuunggg… Anak sialan, sabar!” Endang mulai berteriak menjerit sambil memukul perut buntingnya.
                Yoso segera menyodorkan kendi yang berisi air sejuk itu.
                “Dik, ora pareng ah! Jangan bicara seperti itu. Tidak baik!”
                “Mas, aku mau melahirkan di sini saja! Goblok-goblokan semua orang setan mas! Daritadi ndak ada yang mau bantu kita karena Kala-Surup!”
                “Yasudah jangan dipikir berat-berat dik! Mas lepas sapinya, kamu tak gendong ke arah rumah pak lurah. Berani?”
                Endang hanya mengangguk lemah tanda ia pasrah dengan keputusan Yoso. Yoso pun menancapkan tambat bambu di dekat gerobaknya dan mengikat tali kekang sapi-sapinya. Yoso membopong Endang dan dengan setengah berlari, Yoso menuju rumah Ki Lurah.
                “Duuhhh… Gusti, ngapura, bangsat anak iki! Elek tenan kowe…. Anak sialan… huuuuggghhh! Sabar to bocaaahhh!” Endang semakin garang menahan sakitnya sambil memukul-mukul lagi perut buntingnya. Tampaklah air kental agak kemerahan meleleh dari jaritnya; menuruni kaki; membasahi langkah Yoso yang tergesa-gesa; dan menebarkan bau anyir.
***
“Kula Nuwun Pak Lurah. Kula Nuwun…”
Yoso langsung mengetuk pintu rumah Ki Lurah meski harus berkali-kali gedhok-nya. Respon dari penghuni rumah ada setelah beberapa kali Yoso mengucapkan salam.
“Nggih, sekedap mas… tunggu sebentar.”
Pintu dibuka dan Yoso langsung mengutarakan kemauannya tanpa basa-basi. Sambil menceritakan keadaan istrinya, Yoso menatap Ki Lurah dengan tatapan aneh. “Orang seperti ini adalah Lurah?” pikirnya dalam hati. Lurah itu hanya menatapnya sayu dengan mata yang sipit dan berwajah tua renta. Tubuhnya gemuk dan pendek dengan pantatnya yang besar menyaingi perutnya. Giginya hanya tinggal satu.
                “Mas, kami ndak ada tempat bagus. Tapi, ada cangkrukan belakang rumah. Cuma cangkruknya dekat gudang kayubakar sama kandang sapi dan wedhus. Kalau berkenan, biar saya dan anak-anak saya yang bersihkan dulu.”  Ki Lurah menawarkan jasanya dengan senyum yang lebar menyeringai di balik wajah tuanya yang tampak lucu.
                “Nggih pak! Saya glethake istri saya di sini dulu tidak apa-apa ya?”
                “Monggo lho dik, saya tak bersih-bersih cangkruknya dulu.”
Yoso pun mendudukkan istrinya di balai-balai dekat ruang tamu. Ia memberikan air kendi sambil terus mengelus dahi Endang. Yoso juga menekan perut Endang semata-mata untuk menahan getaran yang dihasilkan dari pergerakan sang bayi. Endang tampak lemas, tak mampu berteriak lagi. Keringatnya mengucur membasahi sekujur tubuh dan berlomba dengan air kental kemerahan yang turun dari selangkangan Endang.
                “Dik, segeralah disanggrahkan dicangkruk! Semua sudah siap dan bersih. Cepatlah mulai babarannya dik!” begitulah saran Ki Lurah kepada Yoso yang berperasaan campur aduk.
Yoso membopong Endang ke arah cangkruk. Perut Endang digubetnya dengan kain blacu, sedangkan kain kembennya sedikit diturunkan dengan tujuan supaya nafas Endang berjalan teratur. Karena turunnya kain kemben itu, tampaklah payudara Endang yang penuh berisi air susu untuk menghidupi anaknya nanti. Selangkangan Endang dibukanya lebar-lebar dan kedua tangan Yoso pun bekerja. Tangan kanannya memijat perut yang sedang tegang sedang tangan kirinya memijat selangkangan. Proses yang tak tahu kapan akan selesai.
                Adalah satu teriakan terakhir dari Endang dan sang anak pun lahir ke dunia dengan teriakan yang tak kalah keras dari ibunya. Yoso segera membersihkan tangannya dan mengelus rambut Endang sambil mengecup dahinya yang basah oleh keringat. Endang memiliki nafas yang kembang-kempis, pertanda energinya sedang dicurahkan banyak demi kelangsungan hidup sang anak. Yoso memeluk Endang sambil menitikkan air mata haru.
***
“Nyuwun sewu den, wah babarannya sudah selesai? Ini ada ubi rebus, air teh anget, dan baju ganti untuk den bagus dan den ayu.” Ki Lurah masuk ke cangkrukan dengan senyumnya yang ramah meski tak bergigi lengkap.
                Yoso segera berjongkok menghaturkan sembah, tanda ucapan terimakasih. Ki Lurah tidak sampai hati melihat Yoso yang menghaturkan sembah sehingga Yoso dibangunkannya dengan cepat.
                “Tidak usah begitu den bagus! Den ayu! sudah kewajiban saya menolong orang yang kesusahan.”
                “Terimakasih seribu Ki Lurah! Saya syukur panjang dengan bantuan Ki Lurah.”
                “Oh ya? Anaknya laki-laki apa perempuan den bagus?”
                “Anak saya laki-laki pak,sekarang sedang disusoni oleh ibunya.”
                “Oh, iya… hahahaha, sugeng den bagus! Mangayu bagya panjenengan, den! Den bagus yang bawa gerobak sapi di depan itu? Biar anak-anak saya yang membawanya kemari.”
                Warna langit sudah masuk kedalam warna gelap dan nirmana, tetapi terang lintangparang geger menyinari bumi dengan riangnya. Perjalanan Yoso membuahkan perubahan cuaca. Dari Kala-surup sampai wengi padhang jinggrang dengan suara cengekrik bernyanyi dan angin semilir yang tidak membuat gemetar di badan. Malam itu terasa cerah. Perjalanan gerobak sapi yang nguler kambang dengan mudah terlupakan segera karena bantuan dari Ki Lurah yang tulus untuk memberikan pesanggrahan bagi Yoso dan istrinya.
                Ketiga anak Ki Lurah pun ikut berkumpul setelah membereskan gerobak sapi milik Yoso. Ki Lurah beserta anak-anaknya memiliki wajah yang aneh dan lucu. Dari kiri ke kanan, anak-anak Ki Lurah memiliki anatomi tubuh yang mengundang hormon tawa untuk meledak kapan saja. Yang pertama memiliki mata yang juling, tangan yang pendek sebelah, perut buncit, dan berhidung betet. Yang kedua memiliki mata sayu, tangan yang panjang sampai ke kaki, hidung mancung yang berbentuk seperti wortel, dan perut buncit. Yang terakhir gendut menyeringai, wajahnya besar, muka lebar, mulutnya lebar, dan hanya memiliki satu gigi. Ketiga anak Ki Lurah ini semuanya laki-laki. Tidak ada wanita yang tinggal di rumah Ki Lurah. Ki Lurah dan anak-anaknya memperkenalkan diri kepada Yoso dan Endang sebagai Ki Lurah yang baru saja menjabat tiga bulan ini. Yoso tidak habis pikir karena penolongnya adalah orang yang berwajah jelek dan tidak seperti manusia. Meski begitu, Yoso sangat terharu atas bantuan mereka yang tidak ambil pusing dan pamrih.
                “Anaknya mau diberi nama siapa den?” tanya salah satu anak Ki Lurah yang berhidung mancung keterlaluan itu.
                “Saya akan memberinya nama, Pangeran!” Jawab Endang yakin tanpa basa-basi.
                “Boleh saya gendong sebentar? Akan saya berikan kain jarit untuk membungkus tubuhnya supaya hangat.” Ki Lurahpun membungkus tubuh bayi mungil itu dengan hati-hati dan penuh kelembutan. Matanya menatap ke arah mata bayi itu yang terbukanya pun masih belum sempurna. Ki Lurah mengernyitkan dahinya sambil berkata kepada Yoso, “sungguh! Bayi iniadalah pangeran!”

Sleman-Yogyakarta,24 Desember 2013

Komentar