NGENDIKA

NGENDIKA

“Kosik, ngendikane mas Nawa, aku kudu teka ning gapura Batu Jamus.”
(Sebentar, kata mas Nawa, aku harus ke Gapura Batu Jamus.) 

Tiga tahun terakhir ini, Mbah Wiryo tergeletak di kasur. 
Pemandangan yang ditatap Mbah Wiryo hanyalah langit-langit kamar,
sedikit jaring laba-laba di sudut-sudut ruangan, lemari tua berkaca, lukisan Yesus,
salib kecil yang terpajang di dinding, kalender gratisan, dan foto keluarga besar Mbah Wiryo. 
Di samping kasur mbah Wiryo, ada meja kecil dengan gelas berisi air putih dan sedotan.
Di sebelah gelas, ada sekotak obat yang merupakan tebusan 
resep dokter spesialis penyakit komplikasi gula dan ginjal. 
Sesekali, Mbah Wiryo memandangi foto keluarga tepat di hadapannya.
Semua sunyi. 
Senyap.
Aroma kamar itu adalah bau lantai plester yang khas dari rumah pedesaan.

Di dalam foto, tampak Mbah Wiryo dan mendiang istrinya duduk di tengah, 
sedangkan di belakangnya, ketujuh anak Mbak Wiryo berdiri dengan
ekspresi senyum tanggung. Mbah Wiryo memandanginya dengan raut wajah datar. 
Urut dari kiri ke kanan sama dengan urut tua ke muda, 
dan anak-anak Mbah Wiryo adalah; Priyanto, Priyanti, Priyono,
Prihastuti, Priadi, Priharso, dan terakhir Prisapto. 
Anak pertama hingga anak keenam sudah menikah, berkarir, hingga berkeluarga. 
Bahkan, si anak sulung, Priyanto sudah hendak pensiun dari tempat kerjanya. 
Hanya Prisapto, atau akrab dipanggil Sapto, yang tinggal di rumah itu
sambil merawat Mbah Wiryo.

Sebelumnya, Sapto pernah berkuliah di Yogyakarta.
Tidak selesai. Ia pulang ke Karanganyar. 
Tidak seperti kakak-kakaknya, Sapto bekerja sebagai peternak lele dan sama sekali
tidak tertarik dengan imaji kesuksesan di ibukota. Tidak pernah terbayang oleh Sapto
sebuah gambaran hidup sukses dengan bekerja di Jakarta, mendapatkan imbalan gaji besar,
promosi, menjadi direktur, dan rentetan peristiwa lainnya. 
Idealisme Sapto terbatas pada memilah bibit lele unggul, membesarkannya, menyaringnya,
memanennya, dan mendistribusikan hasilnya ke beberapa mitra restoran. 
Kuliah S1 Budidaya Perikanan yang diambil Sapto tidak selesai
dan dengan alasan ‘tidak ingin merepotkan orang tua dan kakak-kakaknya’, 
Sapto memilih untuk beternak lele.

Setiap pagi hingga sore di kamar Mbah Wiryo, sinar matahari masuk 
dan berpendar melalui ujung langit-langit yang tertutup material polycarbonate. 
 Sinar matahari yang menembus atap itu membuat Mbah Wiryo mengedip-kedipkan mata 
yang kemudian dilanjut dengan mengambil sendok dan memukuli besi penyangga kasurnya. 

Tung-tung-tung-tung-tung-tung… 

Suara itu menjadi sinyal bagi Sapto untuk segera memindahkan posisi kasur Mbah Wiryo. 

 “Kosik, ngendikane mas Nawa, aku kudu teka nang Gapura Batu Jamus.”
(Sebentar, kata mas Nawa, aku harus ke Gapura Batu Jamus) 

“Iya, pak… Nanti saya kabarkan ke Pak Nawa.” jawab Sapto datar. 

“Tolong dibantu, Yanto…” Mbah Wiryo masih sering terbalik-balik memanggil anaknya. 

“Sapto. Saya Sapto.” 

“Oiya, kamu kelas berapa sekarang? Bapak masih kuat lho sekolahkan kamu.” 

“Saya sudah bekerja, pak. Ternak Lele…” 

Percakapan tanpa ingatan pasti hampir setiap hari terjadi
dan selalu mengulang-ulang ucapan yang sama.
Seusai menyuapi ayahnya dengan santapan makan siang,
Sapto pergi ke hamparan kolam lelenya, membawa handphone,
dan sesaat kemudian menerima telepon dari Yanto, kakak sulungnya. 

“Kemarin tak transfer buat Peptisol, Vitamin, sama belikan buah-buahan, ya…” 

“Iya, mas… kapan pulang?”

“Natalan aku pulang… Cuma aku nggak mau ajak anak-istri. Tak sendirian aja.”

“Lha emangnya kenapa? Kan Bapak juga seneng bisa ketemu sama mantu-cucunya.”

“Nggak tahu kenapa, lagi pengen ketemu Bapak sendirian aja.
Oiya, Harso sama Tuti juga pulang, mungkin nyusul tanggal 27 Desember.”

“Yowis, mas… Kalau ada yang perlu tak siapkan, kabari saja.”

Perbincangan akrab Sapto dan Yanto ditemani suara kecipak air dari kolam
yang penuh dengan Lele. Matahari mulai mengurangi intensitas cahaya dan panasnya,
dan suara Burung Belibis berkejaran di udara menjadi situasi otentik
yang menemani sore hari Sapto. Telepon dengan Yanto masih berlanjut. 

“Sapto… Kalau kamu mau lanjutkan kuliah, aku saja yang tanggung.
Aku cuma minta Bapak biar dirawat saja di Jakarta, di rumahku.
Kamu bisa kuliah sedangkan Rumah Ngargoyoso bisa dikontrakkan,
atau dititipkan ke Pak Sri. Eman utekmu, le…

“Mas, ternak Lele itu pilihanku…
toh juga nggak jauh dari jurusan kuliahku. Perikanan.”

“Lho lha iya… kuliahmu sekarang malah penting buat negara.”

“Maksudnya?”

“Setahuku,  Kementerian Perikanan Indonesia ini lagi memperbanyak staf
buat dikonversi jadi tenaga ahli lapangan. Kamu itu berpotensi!
Mumpung umurmu belum ada 30 tahun, le… dan minimal bawa ijazah S1.
 Mulane koe kuliahe dirampungke.” 

“Kalau kementerian kan berarti PNS, to? 

“Kali ini nggak! Staf biasa, nggak perlu daftar CPNS.” 

“Wah, mas… uwis, rapopo. Lele itu lebih besar daripada Teri.”
wajah Sapto tampak menahan tawa karena ingin melontarkan candaan. 

“Maksudnya?”

“Maksudnya… Kementerian itu ikannya cuma TERI. MEN-TERI.
Ya to? Lele lebih besar dan lebih mahal.”

“Kenthir koe! Hahahaha…” 

Matahari perlahan masuk ke sela-sela perbukitan kaki Gunung Lawu
yang tampak di depan rumah Mbah Wiryo. Sapto menutup telepon.
Dalam hati Sapto, ia tak ingin menambah repot kakaknya dengan melanjutkan kuliah.
Jika ia kuliah sambil bekerja usaha lele pun pasti tidak ada yang fokus.
Oleh karena itu, Sapto tetap memilih beternak Lele. Menghidupi dan menghasilkan.

Matahari semakin bersemangat memasuki kaki Gunung Lawu.
Sunyi. Angin malam mulai menyeruak. Suara katak sawah perlahan saling bersahutan. 

***
Esok Hari
“Kosik, ngendikane mas Nawa, aku kudu teka nang gapura Batu Jamus.”
(Sebentar, kata mas Nawa, aku harus ke Gapura Batu Jamus.) 

Mbah Wiryo meneriakkan kalimat itu lagi dengan suara yang cenderung lantang. 

“Kosik, ngendikane mas Nawa, aku kudu teka nang gapura Batu Jamus.”
(Sebentar, kata mas Nawa, aku harus ke Gapura Batu Jamus.) 

“Mas Nawa! Mas Nawaaaaa….” 
“Mas Nawa, jangan mendahului aku!” Mbah Wiryo berteriak heboh.
Gelas disampar, taplak meja ditarik, dan suara keras memanggil nama ‘Nawa’
diulang dengan keras.

Sapto yang baru memarkirkan motor seusai mengantarkan panenan Lele
langsung berlari masuk ke kamar Mbah Wiryo. Mbah Wiryo semakin kalap berulah
dan berteriak. Mata Mbah Wiryo mengeluarkan tetesan air,
namun suara teriakannya seperti terhambat ingus dalam hidungnya. 

“Ingkang sabar, pak. Yang sabar dan kalem, ya.”
Sapto memegang tangan dan menenangkan Mbah Wiryo.
Bau kotoran manusia mulai tercium. Sapto segera sadar kalau ayahnya
baru saja buang hajat di popok manula.

“Mandi ya pak. Ayo… habis ini sarapan.”

Ritual memandikan Mbah Wiryo, menyuapinya sarapan pagi,
dan membersihkan kamarnya sudah dituntaskan.
Sapto yang berkeringat dan lelah itu tidak mengindahkan mandi pagi untuk dirinya,
karena setelah itu dia harus masuk ke kolam Lele dan menyaring
serta memisahkan ikan Lele sesuai ukuran.

Di pinggiran kolam, Sapto berpikir keras akan kejadian-kejadian Mbah Wiryo.
Dua bulan belakangan, Mbah Wiryo selalu mengulang kalimat,
 “Kosik, ngendikane mas Nawa, aku kudu teka nang gapura Batu Jamus.”
(Sebentar, kata mas Nawa, aku harus ke Gapura Batu Jamus.) 
Hal itu mengusik batin Sapto dan membuatnya bingung. 
***
Esoknya Lagi…
“Mas Yanto. Aku selalu lupa bilang hal ini tentang Bapak.”
Sapto duduk di gubuk jaga yang terletak di tengah persimpangan kolam ikan.
Ia menelpon kakaknya dan hendak berdiskusi masalah kejadian dua bulan terakhir,
ketika Mbah Wiryo selalu mengulang kalimat,
 “Kosik, ngendikane mas Nawa, aku kudu teka nang gapura Batu Jamus.”
(Sebentar, kata mas Nawa, aku harus ke Gapura Batu Jamus.).

“Kamu tahu maksud Bapak itu apa?”

“Mas Nawa? Aduh … Bapak bilang begitu?”
Sepertinya, Yanto khawatir akan perilaku ayahnya menurut tuturan Sapto.

“Iya. Aku mengira apakah itu sahabatnya atau mungkin
tetangga yang sudah meninggal.”

“Bukan itu.”

“Apa, mas?”

“Aku cuma tahu secara sekilas, tapi aku juga nggak berani cerita ke kamu.”

“Lho? Kenapa gitu? Kan sekarang aku yang ada secara fisik buat Bapak.”

“Iya, aku paham…”

Pada momen ini semua terdiam. Sapto seperti membentak kakaknya dengan tiba-tiba. 

“Oke… tak ceritakan saja. Pak Dhe Nawa atau Mas Nawa
itu salah satu rekan seperjuangan Bapak.”

“Perjuangan? Kemerdekaan?”

“Bisa dibilang begitu. Tapi lebih jelasnya perjuangan melawan penggusuran
area pabrik pengolahan karet di Batu Jamus, Karanganyar.
Pada saat itu, pemekaran pabrik semakin luas hingga menggusur rumah temannya
yang bernama Mas Nawa itu. Mas Nawa diceritakan melawan traktor milik pemodal Belanda,
tapi karena terlalu berani dan nekat, traktor itu digas… dilajukan dan menabrak
serta melindas tubuh Mas Nawa. Seketika itu juga, Mas Nawa mati.
Pengemudi traktor turun dan melarikan diri, dan kerumunan massa menyerbu
pabrik Batu Jamus dengan membabi buta.”

“Terus, apa hubungannya sama Bapak?”

“Nha itu, Aku lupa, le… Semasa kamu belum lahir pun,
Bapak sering pergi ke makam Karanglaya dan sering doa di pusara temannya itu
sampai lama sekali. Tapi, beberapa saat setelah itu,
Bapak beranggapan kalau Mas Nawa itu masih hidup, atau bakal hidup lagi.
Bertahun-tahun sampai kakak-kakakmu yang lain lahir, Bapak lupa akan Mas Nawa ini.
Sampai ketika kamu lahir, dia pergi sekali lagi ke makam Mas Nawa.
Sepulang dari situ, Bapak cenderung menjadi pribadi yang sensitif dan temperamental.
Abis itu lupa lagi, abis itu ingat lagi sesuai ceritamu ini.” 

“Kok aku nggak paham, ya?”

Sapto dan Yanto saling bertanya-tanya dalam hati
tentang kondisi yang baru-baru ini terjadi pada Bapaknya.
Sesaat setelah telepon itu ditutup, Mbah Wiryo kembali berteriak,
“Kosik… Mas Nawa! Mas Nawaaaa! Enteni! Asu koe!” 

***
Dan Esoknya Lagi… 
Setelah melakukan ritual pagi untuk Mbah Wiryo,
Sapto menunggu bapaknya sejenak supaya tertidur pulas.
Dalam waktu sepuluh menit,  Mbah Wiryo pun memejamkan mata.
Sapto mengendap-endap dan meninggalkan kamar Mbah Wiryo. 

“Ini aku harus tanya ke mana, mas?” 
Sesaat setelah di luar halaman rumah, Sapto menelpon kakaknya, Yanto.

“Ke Sragen, cari GKJ Ponggok, di belakang ada rumah gubuk gitu.
Nah, di situ ada temannya Bapak namanya Mbah Pardi.
Coba kamu tanya informasi mengenai Mas Nawa.
Syukur-syukur Mbah Pardi nggak lupa.” 

Perjalanan ke Sragen ditempuh dengan motor tua Jet Cooled.
Lama perjalanan tiga puluh menit dan mencari alamat Mbah Pardi pun
hanya ditempuh dalam waktu lima menit saja, sambil meninjau google maps di handphone.
Rupa-rupanya, alamat itu tidak jauh dari jalan utama Sragen-Karanganyar. 

Setelah mendapatkan alamatnya, Sapto mendapati Mbah Pardi
sedang memberi makan ayam di halaman depan rumah. Ia menyapa Mbah Pardi.
Ajaib! Mbah Pardi langsung mengenali Sapto dalam waktu yang sekejap.

“Lho! Wis gedhe koe, le… sudah bekerja, ya?” sapa Mbah Pardi. Pangling.

“Iya. Buka ternak Lele di rumah saja.”

“Ada apa kok tumben ke sini? Bapak sudah sembuh?”

Mendengar kalimat Mbah Pardi itu, Sapto terkejut.
Dari mana Mbah Pardi tahu kalau bapaknya ini sakit? Ah entahlah.
“Saya mau mengobrol. Mau tahu informasi mengenai kejadian yang dialami Bapak.
Sudah dua bulan terakhir ini, Bapak selalu memanggil nama Mas Nawa
sambil mengepal tinju, marah-marah, bahkan menangis.” begitu tutur Sapto.

“Buat apa kamu tanya itu, le?”

“Saya cuma nggak mau Bapak duko.
Sedih atau terganggu pikirannya.” 

“Le… dengarkan ceritaku. Bapakmu sama Nawa punya satu ilmu.
Nama ilmunya Lelaku Poncorogo.”

“Lelaku Poncorogo?”

“Ya… itu ilmu Kanuragan dan ilmu kesuburan.
Ibu kamu itu baru bisa hamil Yanto sampai kamu
setelah Bapakmu mendapat ilmu itu dari Mas Nawa.”

“Lalu hubungannya apa?”

“Hubungannya apa? Nah, Ibu-Bapakmu udah menyalahgunakan ilmu itu.
Ilmu itu hanya bisa melancarkan proses kehamilan hingga anak kedua.
Ternyata, Bapakmu pengen punya anak sampai tujuh.
Setelah kamu lahir, kamu tahu sendiri, kan?”

“Ibuku meninggal ketika aku berumur 3 tahun, bukan?”

“Iya, bahkan lebih parahnya, Ibumu meninggal karena
direbut nyawanya oleh Mas Nawa itu. Prinsip ilmunya begini,
‘kalau si pemberi ilmu ini, ilmunya disalahgunakan oleh si penerima ilmu,
niscaya jiwa si pemberi ilmu jadi bukan jiwa manusia lagi.’
Jiwanya akan mengambang. Ke Surga tidak, ke Neraka juga tidak,
manusia bukan… jin pun juga bukan... dan bisa membunuh hanya
demi menambah teman untuk menghuni alam yang mengambang itu.
Sepertinya, ini tahun yang tepat karena arwah kambangan 
macam Nawa keluar dari persembunyiannya dari lereng Dumilah,
dan mencari teman yang masih terikat di dunia untuk dibunuh supaya bisa satu alam.
Bapakmu sepertinya mau dijemput Nawa.”

“Ah… nggak mungkin, mbah. Keluarga kami Kristen Jawa yang taat.
Kami percaya keselamatan dari Gusti Yesus.” kilah Sapto. 

“Lho, aku pun juga begitu, le… Tapi ingat, alam luar sana tidak terbatas sama agama, le.
Kalau kamu percaya Gusti Yesus tapi kamu masih melakukan
‘lelaku poncorogo’ ya mungkin keduanya bisa membungkus kita ini.
Lelaku poncorogo, ilmu yang sudah disalahgunakan sama Bapakmu itu.”

“Ya kalau begitu, apa masa Gusti Yesus bisa ngobrol sama
yang menciptakan kepercayaan Lelaku Poncorogo ini? Aneh, kan?”

“Kui Jagad gedhe, le… manusia ini cuma Jagad Cilik.
Pengetahuan kita tidak sampai menembus Jagad Gedhe.
Kita ini manusia. Sepinter-pinternya manusia,
ia tidak akan bisa menggambarkan Jagad Gedhe yang terlalu besar,
termasuk Tuhan. Apalagi menurut agama yang beragam.”

Pembicaraan ini dirasa omong kosong oleh Sapto.
Kemudian, Sapto pamit pulang dan hendak menyiapkan
makan siang bagi Bapaknya. 

Hari yang Sama, Sore Harinya… 
Sore hari menjelang, Sapto pun sampai di rumahnya.
Seperti biasa, saat memarkirkan sepeda motornya,
Sapto mendengar kalimat yang sama,
Kosik, ngendikane mas Nawa, aku kudu teka nang gapura Batu Jamus.”
(Sebentar, kata mas Nawa, aku harus ke Gapura Batu Jamus.) 

Sapto memberi makan siang untuk bapaknya, mengganti sprei,
dan meminumkan obat serta vitamin. Setelah itu, Sapto menuju kolam Lele
untuk melakukan penyaringan lagi.

“EDAN KOE MAS NAWAAAA!”

Sapto kaget. Ia berlari ke kamar bapaknya.
Didapatinya kamar Mbah Wiryo kosong dan berantakan.

Jakarta, 8 Agustus 2019
-ANM- 


   


Komentar