Keakraban yang Tanpa Nama

12 Desember 2014, Warung Nasi Pantura Kelapa Dua, Jalan Panjang Kebon Jeruk, Jakarta Barat
Suatu pagi sebelum masuk kerja, saya sempatkan sarapan di Warung Nasi Pantura. Sesungguhnya bukan Warung Nasi Pantura yang dimaksud tetapi warung ini mau terlihat lebih dari sekadar Warung Tegal. Menu makanan serta logat para pramusajinya kental dengan logat ngapag. Mereka sempat berceloteh demikian kepada saya : “Pokoke kami itu lebih lah dibanding Warteg. Ini Warteg Pantura. Warteg Plus!”
    Ah, terserah sira lah mau branding warungnya dengan nama apa tetapi jujur saya katakan :  masakannya enak dan bersih. Karena kedua hal itulah, warung nasi Pantura ini ramai sekali. Terkadang saya juga ditemani dengan karyawan-karyawan kantor lain yang ikut sarapan. Akan tetapi, dalam pagi hari yang saya ceritakan ini menjadi begitu istimewa. Kenapa demikian?
      Seorang Bapak memakai peci hitam dan berpakaian gaya pebisnis tiba-tiba mendekati saya. Ia menyapa saya alakadarnya : “Selamat Pagi.” Saya juga membalas sapa kepadanya alakadarnya dengan kata yang sama. Lama kelamaan, gelagatnya begitu mencurigakan. Ia seolah-olah membaca profil wajah saya dan akhirnya ia berkata : “Nah! Betul ini! Betul ini!”
    Mekanisme pertahanan ala Jakarta yang sudah saya pelajari perlahan mulai aktif dari otak saya. Saya bisa saja secepatnya membayar atau memasang kecurigaan tingkat tinggi. Saya khawatir, Bapak ini akan mengaku saudara, meminta nomor HP, dan urusan-urusan yang menjurus ke ranah semi kriminal hingga kriminal. 
    “Ini bener Adek, kan? Adek yang sering ke rumah makan saya!” Begitulah bapak itu menambah obrolan dengan menepuk pundak saya. 
    “Rasanya bukan pak. salah orang, ya?”
    “Ah, jangan pura-pura tidak tahu. Adek masih ingat kalau adek waktu kecil itu sepulang sekolah selalu mampir ke rumah makan saya?”
    “Saya sekolah di Jogja, pak.”
    “Iya, di Jogja. Dulu kan saya tinggal di sana! Adek masih ingat Rumah Makan Padang bernama Arau?”
    Kalimat yang terakhir ini membuat saya mulai tersadar. Arau adalah nama Rumah Makan Padang yang berada di seberang kantor ayah saya, di Yogyakarta. Kalau jam makan siang tiba, karyawan-karyawan ayah saya sering makan di Rumah Makan Padang Arau. Biasanya, saya ikut dengan mereka sepulang sekolah sambil menunggu jam kantor selesai. Memang, saya selalu singgah di kantor ayah saya sepulang sekolah hingga pukul 17.30. Tujuannya adalah supaya saya bisa pulang dengan mengirit ongkos angkutan umum.
    “Adek masih ingat saya, kan? Adek selalu pesan ayam goreng dengan remah kelapa, nasinya saya tambahkan bumbu randang, dan adek itu kalau makan bisa lama sekali.”
    Mekanisme pertahanan saya mendadak luntur. Saya langsung menimbrung obrolan. Saya mengobrol selama 25 menit. Meskipun saya tak tahu persis nama aslinya, saya tetap mengobrol. Saya pun diingatkan akan sebuah kecenderungan yang sering saya lakukan ketika saya singgah ke kantor ayah saya. Bisa dibilang, saya adalah salah satu pelanggan setia di Rumah Makan Arau.

 “Wah, sekarang kamu sudah setinggi ini, sudah jadi pekerja. Kamu kerja dimana dek?”
    “Kantor saya di seberang warung Nasi ini pak.” Saya pun menunjuk gedung kantor saya.
    “Ohya, saya sekarang tidak berbisnis Rumah Makan lagi. Sekarang saya kerja di Jakarta Barat.”
    Rupanya bapak ini buru-buru karena sudah ada mobil yang menjemput. 
    “Ya sudah! Saya pamit. Sukses dan Sehat ya Adek!”
    Bapak ini langsung pergi tanpa meninggalkan kartu nama. Saya pun lupa bahwa seharusnya saya berikan Nomor HP dan Saya perkenalkan diri saya. Akan tetapi, waktu memburu hingga saya dan bapak itu harus berpisah dengan lebih cepat. Nama yang dikenal tidak ada tetapi kesan yang muncul dari obrolan tadi terkenang begitu kuat.
    Sesampainya di kantor, saya memberi waktu sejenak untuk merenung. Saya pun mengingat-ingat kecenderungan saya yang diingat-ingat oleh Bapak itu. Ya! Saya jadi ingat urutannya. Demikianlah ceritanya : 

Pelanggan Rumah Makan Arau
1. Setelah Pulang Sekolah (Kelas 3 – 5 SD)
Dalam interval waktu sekolah dasar kelas tiga hingga kelas 5, saya selalu singgah ke kantor Wisata Intra Nusantara (Kantor Ayah saya) sepulang sekolah. Tujuannya adalah : menunggu saja dan menghemat uang makan siang serta uang transport. Terkadang, pegawai kantor ayah saya yang menjemput saya di sekolah. 
    Sesampainya di kantor ayah saya, saya selalu senang karena mendapatkan kertas hvs yang banyak untuk saya gambar-gambar. Selain itu, kalau makan siang saya selalu ikut para pegawai ayah saya ke rumah makan Arau. Dari kebiasaan itu, saya menjadi anak yang dihafal oleh pemilik rumah makan Arau. 

Rumah Makan Arau adalah Rumah Makan Padang yang didirikan oleh orang asli Sumatra Barat. Saya menghafal tiga pribadi yang khas di Rumah Makan itu. Satu : Bapak tua yang duduk di meja kasir, Dua : Anaknya si Bapak Tua yang sering melayani sambil menyuplai puding dan buah potong, dan Tiga : adiknya yang kedua. Orang-orang lainnya adalah pegawai kebersihan, cuci piring, masak-memasak, dan sebagainya. 
    Rumah Makan Arau ini begitu istimewa. Kalau bulan Ramadhan pada hari yang ke-15, Rumah Makan ini tutup selama sebulan. Pemilik beserta keluarganya pulang ke Sumatra Barat dengan naik. Mereka jarang sekali menggunakan pesawat terbang.
    Kalau saya mampir, obrolan antarkeluarga pemiliknya pasti menggunakan Bahasa Minang yang saya tidak mengerti. Tetapi yang saya ingat adalah kata sambutan si Bapak Tua yang duduk di Meja Kasir kalau saya datang bersama pegawai kantor ayah saya. Sapaan si Bapak tua itu selalu berbunyi : “Wah, anak Pande Langgan lagi di sini! Makan apa?” Selain daripada itu, sapaan si Bapak tua juga berbunyi : “Bagaimana tadi sekolahnya?” Saya selalu menjawab apa adanya dan masih kurang berbakat mengobrol dengan orang tua.
    Bapak tua ini begitu ramah dengan menceritakan tanah kelahirannya, Sumatra Barat. 
    “Kalau sudah remaja atau kerja nanti, kamu coba main ke Sumatra Barat. Nanti Bapak ajak keliling-keliling. Rumah Bapak di Kota Payakumbuh.”
    Kadang-kadang, Bapak tua ini juga bercerita kontur alam dan bentang natural di Sumatra Barat yang sangat ia banggakan. 
    “Sumatra Barat itu tanah anugerah Allah SWT. Kalau maen ke sana, Adek akan lihat banyak sekali bentang alam yang bagus. Contohnya adalah dataran dan air terjun Lembah Arau. Namanya itu saya pakai untuk nama Rumah Makan ini.”
    Kata ‘Payakumbuh’ ini kemudian menggelitik saya untuk mencari titik kotanya di atlas. Pelajaran IPS yang saya dapat di SD berfokus pada indeks Peta dan saya sangat menggemari pelajaran itu.
    Keramahan si Bapak tua ini begitu mengena di pikiran saya. Inilah yang disebut sebagai servis terbaik dari sebuah restoran. Hingga pada suatu saat, ada suatu kejadian yang membuat saya semakin tertegun dengan totalitas pelayanan dan keramahan si Bapak tua. 


2. Suatu Cerita, Saya Ditolong Oleh Bapak Tua Pemilik Rumah Makan
    Saya menelpon ke nomor Handphone Ayah saya di Wartel. Saat itu, Handphone masih menjadi barang mewah. Ayah saya tidak mengangkat panggilan saya hingga saya putar nomornya yang kelima kali. Dalam pikiran saya, pasti Ayah saya sedang dinas ke salah satu objek wisata di Yogyakarta. Waktu itu, kalau sudah terdengar nada sambung tut-tut-tut ke handphone, otomatis saya kena biaya. Hingga akhirnya, saya kehabisan uang hanya karena kelamaan tut-tut-tut dan tak menelpon ayah saya. 
    Saya beranikan diri untuk jalan kaki ke kantor ayah saya karena saya tak punya ongkos untuk angkutan umum. Saya berjalan cukup jauh hingga ngos-ngosan. Sampai di kantor ayah saya, saya lihat kantor itu tutup dan ada tulisan (sedang dinas wisata). Wah, betul… tidak ada kabar sebelumnya dan ternyata ayah saya ikut bersama serombongan wisatawan asal Jepang yang datang sehari yang lalu. Dasar sial, cuaca panas, perut lapar, dan badan mulai lunglai. Saya duduk di teras kantor dan berharap ayah saya segera menjemput di depan. Kalau tahu begitu, saya mending mampir ke rumah teman saya dan siapa tahu dipersilakan makan oleh pembantunya. Ah, menunggu dan kelaparan itu adalah derita besar bagi anak SD seperti saya. 
    Tiba-tiba, Bapak tua pemilik RM. Arau itu keluar dari Rumah Makannya dan menyebrang ke arah teras kantor ayah saya.
    “Wah, adek ditinggal ya? Ayok istirahat di sana saja.”
    Saya pun ikut ke Rumah Makannya dan duduk sambil tetap menunggu.
    “Ini ada air putih dan menu kesukaan kamu. Sudah, segera makan dan minum!” Tampaklah si Bapak dan anaknya menawarkan satu set makanan lengkap. Selain itu, si anak dari Bapak tua itu juga menambahkan buah melon potong dan puding. 
    “Tapi, pak… saya nggak punya uang.”
    “Gak usah bayar. Itu makan saja.”
    Karena merasa mendapat rejeki anak menderita, saya langsung makan dan minum – ditambah lagi dengan buah melon potong dan puding. Wah, Puji Tuhan… Saya ditolong Bapak Tua dari Sumatra Barat. 
    “Nanti kalau sudah dijemput ayah saya, saya bilang ke bapak biar dibayar langsung.”
    “Tidak apa-apa dek… Itu rejeki buat kamu.” 
    Saya menunggu selama satu jam lagi dan akhirnya mobil ayah saya masuk ke dalam kantor. Sebelum masuk, saya sudah melambaikan tangan dan memberi isyarat bahwa saya di depan Rumah Makan Arau. Ayah saya mengcopy pesan saya dan ia segera berputar balik ke arah Rumah Makan Arau. 
Saya dijemput dan saya katakan kepada ayah saya, “Pak, aku abis makan di Arau. Tapi belum bayar. Tolong bayarin dulu ya!”
    Ayah saya malah menunda pembayarannya.
    “Haha, yasudahlah… kapan-kapan aja.”
    Saya tak berbuat apa-apa dan Bapak tua itu tetap saja ramah sambil mengucapkan kata “hati-hati” sepulang saya makan gratis di Rumah Makan Arau. Kemudian, waktu terus berjalan dan Kantor Ayah saya pindah ke rumah saya di Jalan Kaliurang. 

Nasibnya Kemudian
Rumah Makan Arau makin hari makin bertambah sepi dan akhirnya tidak memiliki luas yang seberapa. Tempatnya perlahan-lahan menjadi kios makan dan tidak sebesar sebelumnya. Bahkan, persaingan rumah makan Padang di tanah Jogja makin ketat dengan masuknya Singgalang Grup, Pariaman Grup, Sederhana, dan Minang Maimbau Grup. Arau pun harus menutup usaha terhitung dari 12 September 2004, saat saya menginjak kelas 1 SMP. 

Ketulusan tanpa Nama
Yang ketemu saya tadi bapak tua atau anaknya, ya? Kalau dilihat dari perawakannya, yang ketemu saya tadi adalah anaknya. Saya menggarisbawahi ingatan yang dimiliki anak dari pemilik Rumah Makan Arau. Saya hanya tahu kata “Arau” dan nama “Arau”. Sesungguhnya saya kagum. Saya dan orang tadi nampaknya akrab. Dulu saya ditolong dan saya bisa makan gratis. Itulah perkenalan, persaudaraan, dan keakraban yang tulus meskipun tanpa nama.

Jakarta, 16 Desember 2014

Komentar