KIOS

Ada kepulan asap rokok kretek. Ada alunan musik campursari. Inilah kios. Kios ini berada di dalam stasiun kereta rel listrik yang menjadi akses penting bagi salah satu universitas ternama di negeri tercinta. Kios yang ada kepulan asap rokok dan alunan musik campursari ini adalah kios yang menjual buku-buku bekas. Begitulah kehidupan seorang laki-laki yang usaha menjual buku-buku bekas. Nama laki-laki itu, Cilong.

Cilong menata kios bukunya demikian; rak buku setinggi hampir 3 meter ada di tiga penjuru, di samping pintu kios ada meja transaksi, di atasnya ada radio tua yang digunakan sebagai hiasan, dan ada loudspeaker yang mengalunkan musik campursari untuk menemaninya menjaga kios itu. Cilong biasa mendapatkan buku-buku bekas yang menjadi barang dagangannya itu di sebuah pasar Loak, kota Lama. Kadang-kadang ada orang yang berbaik hati memberikan buku-buku bekas yang masih berguna kepada Cilong. Kios milik Cilong ini adalah andalan para mahasiswa yang butuh mencari referensi karena harga buku yang dijual relatif murah dan sangat pas dengan kantong mahasiswa yang dikendalikan oleh tanggal-tanggal pada bulan tertentu. Sekilas, kios yang kecil itu tidak menjamin kelengkapan koleksi buku-bukunya. Akan tetapi, pengunjung kios mau mencari dengan sabar dan teliti, pengunjung itu bisa mendapatkan buku bermutu terbitan negeri Belanda, Inggris, bahkan ada edisi buku-buku tertentu yang sangat langka. Keberadaan kios ini menjadi sangat langka karena buku yang demikian pasti dijual dengan angka yang berekor nol sebanyak lima hingga enam oleh para kolektor.

Keseharian Cilong cukup sederhana. Kalau kiosnya sepi, Cilonglah yang sering membaca-baca buku koleksinya itu. Karena kebiasaannya itu, ia sering mendapatkan kosakata baru yang dapat digunakan untuk bercakap-cakap dengan pengunjung kios, pembeli, atau untukkeren-kerenan dengan pemilik kios lainnya. Makan siangnya dijamin oleh nasi rames Nyak Komsah, kios sebelah kanannya. Rokok kreteknya dijamin oleh kios kelontong dua blok di samping kirinya, milik Babe Abdul. Banyak pemilik kios yang demen dengan gelagat dan kelakuan Cilong, lucu dan cukup menghibur. Pada suatu waktu, Cilong ingin menghias kiosnya dengan kata-kata mutiara yang ia dapatkan dari membaca barang dagangannya sendiri. Musik keroncongan, klonengan, campursari, dan musik nglaras lainnya sering diputar dengan mp3 player buatan Cina, miliknya sendiri. Pada salah satu kesempatan untuk iseng, Cilong merangkai kata-kata mutiara itu dengan styrofoam dan cat poster. Hasil keisengannya itu berbuah demikian, “Kios Buku Bermutu MAS CILONG- Art Is Theft – Kauripan Manungsa Sajatine mung 3 DinaTidak ada yang baru di bawah Matahari” Orang-orang yang melihat kios ini menjadi sedikit terhibur, apalagi dengan kata-kata mutiara yang diambil Cilong dari buku dagangannya sendiri yang kemudian dirangkainya menjadi hiasan Kios.

Sore hari, di tanggal tertentu, ada seorang mahasiswa yang mampir ke kios milik Cilong. Mahasiswa ini rupa-rupanya sedang mencari referensi untuk membuat makalah. Referensi yang dicari ternyata sangat susah dan belum tentu ada di kios buku Mas Cilong.
“Silakan mas, bisa lihat-lihat dulu.” Sapa Cilong dengan biasanya.
“Ada Buku kajian tentang Sejarah-Budaya Eropa pasca perang Dunia I?”
Kalimat yang diucapkan oleh Mahasiswa ini sedikit mengejutkan pikiran Cilong.
“Ya, judulnya apa?”
“Kalau versi terjemahannya, judul buku itu Lentera yang Berkedip-Kedip.”
“Oh ya, dulu pernah ada. Karya Georg Waldheim, kajian filsafat Watak Manusia pasca perang dunia I yah mas… kayaknya itu udah gak ada mas.”
“Judul lainnya dengan kajian yang sama gak ada mas?”
“Ada banyak mas, ada Life Underpressure­-nya Richard Dwang, Post Colonial Margin-nya Mike Riley…”
“Ya deh, yang itu juga mau…. Sama satu lagi mas. Punya buku naskah Drama Waiting for Godot- nya Samuel Beckett?”
“Nah, itu gak ada mas. Dulu saya punya edisi terjemahannya, tapi udah dibeli orang. Kalau mau, saya carikan. Itu penerbitnya apa?”
“Kalau mas cari dulu, saya bisa ambil bukunya kapan? Dijamin ada kan mas?”
“Pasti ada mas, saya tahu beberapa penerbit, dan saya juga kenal orang-orang dalamnya.”
“Ya, kalau lewat mas, bisa lebih murah kan?”
“Pasti mas, kalau saya minta dari penerbit itu hanya sisa yang tidak terjual kok mas. Lha, nama penerbitnya apa?”
“Pustaka Menang, mas.”
“O, ya… saya tahu beberapa orang dalamnya Pustaka Menang. Begini saja, mas catat nomor HP saya, saya catat nomor HP nya mas, nanti saya kasih SMS tentang buku itu, dapat atau tidaknya.”
“Boleh mas, nama mas siapa?”
“Cilong.”
“Siapa tadi?”
“Cilong. C-I-L-O-N-G.”
“Oh ya, yang dua ini berapa jadinya?”
“enam puluh ribu aja mas.”
“Terimakasih, mas sendiri atas nama siapa?”
“Faisal mas.”
“Yasudah mas, nanti kalau saya dapat atau tidak saya SMS.”
“Ya, Terimakasih mas.”
Mahasiswa itu masih sedikit geli dengan nama Cilong. C-I-L-O-N-G, cukup aneh untuk menjadi sebuah nama laki-laki, entah artinya apa, entah maknanya apa.

Malam hari, selepas azan Isya berkumandang, Kios-kios sudah harus ditutup. Cilong merapikan kiosnya dengan menutupkan terpal plastik pada setiap rak, menyapu kiosnya, dan mengunci pintu kiosnya. Kejadian yang seharusnya tampak biasa itu sekonyong-konyong meledak menjadi heboh. Ada wanita penjaga kios yang berlari-lari dan berteriak-teriak kepada pemilik kios yang lain. Pemilik kios-kios yang lain ramai-ramai mengerumuni wanita itu yang rupa-rupanya sedang menyampaikan sebuah berita. Cilong mendengarkan saja kejadian itu karena posisi wanita itu dua belas blok dari kiosnya. Cilong tidak tertarik mendengarkan berita dari wanita itu karena pikirannya ingin segera pulang, memberi makan Benny, Kucing kesayangannya. Sayup-sayup hanya terdengar suara wanita itu seperti ini, “pergi-goblok-ayo-daripada-ntar-mati.” Cilong kemudian melangkah keluar, berjalan pulang ke kontrakannya.

Keesokan paginya, Cilong sudah mengatur jadwal untuk mengunjungi penerbit Pustaka Menang. Di penerbit itu, ia mau mencari pesanan mahasiswa yang bernama Faisal, pesanan buku naskah Drama Waiting for Godot-nya Samuel Beckett.
Cilong naik kereta dari stasiun depan kiosnya sampai stasiun di sebuah kecamatan. Dari stasiun tujuan akhirnya, Cilong melanjutkan dengan naik angkutan kota menuju ke sebuah jalan penghubung antar kotamadya. Di situlah, penerbit Pustaka Menang berada.

Cilong mengetuk pintu kantor penerbit dan akhirnya dipersilakan masuk. Cilong menemui seorang penerima tamu dan mengatakan bahwa ia ingin bertemu dengan kepala penerbit. Kepala penerbit pun menerimanya dalam ruangan kerjanya. Dan percakapan yang terjadi ternyata tidak biasa.
“Eh, Li… lama kau tak kesini, bagaimana kabar kau, Li?”
Cilong menjabat tangan kepala penerbit itu, “Mas, yah begini-begini saja. Bagaimanasampeyan mas?”
“Yah, jawabannya juga sama dengan kau! Begini-begini saja, hahahaha…”
“Penerbitan bagaimana ini mas?”
“Seperti yang kau lihat Li, sepi orderan, tidak ada orbitan penulis lagi, kampus dan lembaga kajian ilmu pengetahuan sudah tidak ada yang datang kesini. Mereka bilang kalau kualitas kertas sama tampilan tata lekataknya sudah tidak ada rasanya.”
“Wah, aku juga prihatin mas… tapi masih ada buku-buku yang dikerjakan toh mas?”
“Pastinya li, kalau tidak, kantor ini sudah tidak berdiri lagi disini.”
“Kerjakan buku apa mas?”
“Masih seputar karya sastra, kumpulan cerpen, puisi, novel, drama, banyak penulis-penulis lama yang karyanya kita terbitkan ulang Li.”
“Hanya itu saja mas?”
“Enggak Li, kita juga kerjakan buku anak-anak. Eh… Li, kau masih bisnis pribadi urus kios buku murah itu?”
“Masih mas, tapi ya gitu, aku kayak gak kerja saja”
“Hmmm, Li, kau mengingatkan aku pada keputusanku dulu, sekali lagi bukan aku yang bermaksud demikian, kamu lah yang mau pergi sendiri dari kantor ini, Li.”
“Iya mas, aku tahu. Dulu kita mau krisis, tapi ya sudahlah… aku juga menikmati apa yang aku pilih mas.”
“Kau mau mencari sesuatu di sini Li? Siapa tahu aku bisa bantu kau menambah koleksi daganganmu itu, aku bisa carikan buku-buku yang sisa dari toko buku.”
“Yah, itu yang aku mau mas, aku cari buku Waiting For Godot-nya Samuel Beckett.”
“Kau ambil saja di ruangan katalog.”
“Aku ambil ya mas…”
Cilong melangkah ke ruangan katalog dan mencari pesanan pembelinya itu. Dia mendapatkannya.

”Li, kau mau hadir reunian di kampus gak? Siapa tahu si Widya masih mau sama kamu Li.”
“Halah, mas… dia sudah jadi orang besar, pasti gak mau ngobrol sama penjaga kios buku bekas.”
“Yah, apa salahnya… paling-paling dia kaget saja kau kerja begitu. Tapi untuk masalah ngobrol, pasti dia masih kagum sama kamu Li!”
“Reunian nya kapan mas?”
“Selasa besok, datang saja Li, di café tempat teman kita buka usaha.”
“Café apaan? Café Nyruput? Punya Eki itu? Apa kabarnya dia sekarang mas?”
“Yaah, dia juga jawabannya saja kayak kita tadi, tapi kalau kita bilang yah… begitu-begitu saja!”
Cilong dan kepala penerbit itu kemudian tertawa lepas. Dua orang ini adalah junior-senior di sebuah universitas, universitas ternama di negeri tercinta. Mereka berdua bekerja di penerbit pada suatu periode hingga akhirnya Cilong memutuskan pergi dari penerbitan itu karena krisis dan prinsip hidupnya sendiri. Pertemuan itu menyebabkan kepala penerbitan merasakan kerinduan yang lebih. Mereka memutuskan untuk banyak berbagi pengalaman hidup hingga asap rokok, warung makan padang, kopi, dan pertandingan bola pun menjadi keharusan. Cilong menginap di penerbit Pustaka Menang, bersama Kepala penerbit yang juga tidak pulang ke rumahnya. Mereka sedang seru hingga akhirnya Cilong memutuskan untuk kembali ke kota tempat usahanya esok pagi.

Keesokan paginya, Cilong berangkat ke kota tempat usahanya dengan cara yang dibalik dari tujuan asal. Dia naik angkutan kota menuju sebuah stasiun. Dari stasiun yang merupakan sebuah kecamatan itu, dia naik kereta menuju stasiun tujuan akhirnya, stasiun yang menjadi akses penting bagi sebuah universitas ternama, di negeri tercinta. Akhirnya, Cilong pun sampai ke tempat tujuan.
Cilong yang melangkah turun dari kereta, kemudian berdiri dan diam saja. Jantungnya berdegup kencang. Ia menunggu kereta yang baru saja ia naiki berjalan meninggalkan stasiun. Pandangannya tertuju ke arah kios-kios tempat dia dan banyak orang membuka usaha.  

Setelah kereta berlalu, ia melihat danau reruntuhan. Kios-kios yang ada di situ telah berubah menjadi reruntuhan. Ia melihat banyak barang dagangan yang diikat dan dikumpulkan di sudut dekat reruntuhan. Cilong berlari ke arah reruntuhan kios-kios dan membaca tanda-tanda yang terpampang di sana.

“Dirut Tidak Manusiawi! Suarakan hak rakyat kecil-BEM Universitas!”
“Mohon Maaf, Tempat ini sedang ditata ulang, kami melakukan penggusuran atas instruksi Dirut nomor… HUMAS PT Kereta Anti Kesetrum”
“Penjahat! Kami sudah bayar Sewa-Perkumpulan Pedagang Stasiun.”

Cilong hanya tersenyum kecut melihat itu semua. Cilong menghampiri pos pengumpulan barang dagangan dan bermaksud mencari barang dagangannya.
“Maaf pak, barang dagangan yang buku-buku itu sudah disita karena dianggap tidak memiliki izin usaha menjual buku dan sumber informasi.”
“Oh begitu ya, tambah-tambah wewenang begitu kok …, hosh… yasudah…”
Cilong membuka HP dan mengetik teks pesan…
“Untk Mas Faisal, Bk Naskah Drama Waiting For Godot S. Beckett sdh ada di sy. Ambil sj di jln Jahe, rmh kontrak sy, ini gratis, ambil sj klau yakin!”


Cimanggis, 22 Juni 2013
A-N-M
Catatan :
Art is Theft – Pablo Picasso
Kauripan Manungsa Sajatine mung Telung Dina – R. Ng. Ranggawarsita.
Tidak Ada yang Baru di Bawah Matahari – T.S. Elliot
Ini Gratis, Ambil Saja Kalau Yakin … Tuhan Punya Banyak Tabungan – St. Agustinus
Manusia itu akan mejawab dengan jawaban yang sama, Begini-Begini Saja, Begitu-Begitu Saja… Tidak Kurang dan Tidak Lebih – Sherman Alexie. 

Komentar