Telor Ceplok Kamis Pagi


Pasanglah wajan atau penggorengan di atas tungku kompor merk apapun. Beri sedikit minyak atau mentega. Putar pemantik api dan taruhlah jarum penunjuk api tepat pada simbol api yang kecil. Ambil sebutir atau lebih, telor ayam atau bebek yang baru saja dikeluarkan dari lubang kesegaran dan kebahagiaan. Begitu bau minyak mulai terasa gurih di hidung, pecahlah telur dan tuangkan di atas minyak yang mendidih. Ada sedikit ciprat-ciprat minyak berbunyi, “prrt, kwoaakk, prrrttt” Kalau kena tanganmu, nikmati saja! Rasanya memang geli-geli perih dan itulah sensasi memasak telor ceplok. Ingat! Saya tidak bilang Telur. Saya bilangnya Telor. Catat itu!

Ini Kamis Pagi

Telor Ceplok itu punya dua warna : Kuning dan Putih. Dari yang kuning, katanya itu sumber kenikmatan, protein, sekaligus kolestrol. Dari yang putih, orang bilang itu merupakan sebuah inti kekokohan. Untuk memantapkan tepung  gorengan hingga memantapkan rasa legit dalam sebuah snack, putih telor itu memang banyak berperan. 

Mari kita lihat dunia yang terus terkoneksi dan terus berputar. Mari kita renungkan hidup sejenak sambil menyantap nikmatnya telor ceplok di pagi hari. Ohya, jangan lupa beri garam, merica, saus, atau apapun yang membuatnya makin nikmat. 

Saya selalu melihat seporsi telor ceplok setiap pagi. 
Barangkali perumpamaannya salah,  tapi ini yang bisa saya katakan kepada semuanya. 


Suatu Hari di Kamis Pagi
Saya kenal seorang bapak tua di tempat kerja. Bapak ini semacam asupan telor ceplok di tempat kerja.  Bisa dibilang dalam  bahasa Inggris, Bapak ini adalah moodbooster. Sebut saja namanya Pak Plok. 

Pak Plok datang pagi sekali dan pulang malam sekali. Sudah bisa ditebak profesi si bapak ini? Yak! Pak Plok seorang office boy yang usianya tidak lagi 'boy'. Pak Plok tinggal sekitar 45 km dari tempat kerja. Setiap hari, Pak Plok bertempur melawan 17 titik macet. Dia tinggal di ujung Barat Kota Jakarta dan bekerja di tempat saya ini sejak 42 tahun silam. Sekali lagi, bisa ditebak kalau usianya mungkin 60-an atau bahkan 70-an. 

Pak Plok mengikuti seluk-beluk perkembangan ekonomi Indonesia. Secara sederhana, dia lihat dari banyaknya volume kendaraan yang dia lihat hingga banyaknya wirausaha (baik kelas tinggi maupun kerakyatan). Dia juga lihat perkembangan bangsa ini dari titik macet yang jadi musuhnya setiap pagi. Dari rumahnya yang ada di ujung Barat kota Jakarta, dia mengalami titik macet yang fluktuatif dari tahun ke tahun.

"Tahun 72 itu macetnya cuma 2 titik... lama-lama di tahun 1980-an mulai 6 titik, terus jadi 9, 10, dua tahun lalu 12 titik. Paling tinggi ya sekarang ini ada 17 titik" Begitu katanya tanpa ada nada mengeluh. 

Yang hebat, dia selalu setia pada prinsipnya sebagai office boy : datang paling pagi - pulang paling malam. 

Pak Plok, seorang berlogat sunda yang senantiasa menuruti prinsip dasarnya tak pernah terlihat sakit sedikitpun. Dia mengaku, selama dia bekerja di kantor saya ini tidak pernah mengalami sakit yang mengharuskan dia absen dari tanggung jawabnya. 

42 Tahun bekerja, satu kali tempat kerja berpindah - dari 12 km menjadi 45 km, dan asam garam serta pertambahan polusi di paru-paru tidak membuat Pak Plok mundur sejengkal pun. 

Saya kagum, dan memang sungguh kagum.
Orang seperti Pak Plok di masa ini jarang sekali. Justru Pak Plok adalah orang Indonesia asli yang asli Indonesia. Dia orang Indonesia asli dan kita semua juga orang Indonesia asli. Tapi, kita tidak semuanya asli Indonesia. Tahu maksudnya? 

Mengutip dari apa yang saya dengar dari sesi kuliah umum di Salihara tentang Arsitektur Indonesia (diisi oleh pak Han Awal), orang asli Indonesia adalah orang yang akrab bersosialisasi, hangat, tidak tersinggungan, dan mampu membagi 'rumahnya' untuk orang lain. 

Dari kata : "memberikan 'rumahnya' kepada orang lain", saya mencocokkan kondisi ini kepada keseharian Pak Plok. 

Lewat dari jam 6 sore, selalu muncul nada-nada minta tolong yang ditujukan kepada Pak Plok untk membelikan snack, makan, atau minum. Pak Plok memang tugasnya melayani dan yang dilayani adalah para pegawai di balik monitor. Dengan kewajiban itu, Pak Plok mendapatkan upahnya di dunia. Pak Plok juga mencatat dengan rinci segala macam permintaan sarapan pagi para pegawai yang mau sarapan di kantor. Bubur ayam, nasi uduk, nasi kuning, hingga Telor Ceplok juga pasti tersaji di setiap meja kerja - lengkap dengan teh manis  atau air putih. 

Saya melihat grup Pak Plok di belakang (baca : pantry). Akan tetapi,tidak semua orang dalam grupnya Pak Plok bisa menikmati kerja yang mengharuskan mengabdi dan melayani. Bahkan, keluar-masuk personil grup Office Boy pun biasa terjadi. Banyak sekali teman-teman pak Plok yang kemudian menjadi wirausahawan atau bahkan membantu orang lain berwirausaha. 

Pada masa ini, semua orang harus mengejar kesempatan tanpa harus peduli dengan kesetiaan dan pengabdian. Misalnya seorang pegawai finansial. Ketika dia tidak mendapatkan hidup layak di kantor A maka dia akan mencari penghidupan di Kantor B, begitu seterusnya ke kantor C,D,E,F,G, hingga dia mendapatkan apa yang paling hakiki. Wajar. Semua orang ingin maju.

Akan tetapi, Pak Plok ini luar biasa.
"Kalau tempat kerja lagi gak menguntungkan, kitalah yang berfungsi untuk menghidupinya."
Begitulah kata Pak Plok kepada saya dalam sebuah obrolan.
"Saya ini mengalami naik turun gaji udah berkali-kali karena kondisi kantor yang juga naik-turun . Dasar gak mau pindah, saya tetap mau kerja di tempat ini sampai bisa sukses lagi. Kata orang kan cari kerja susah, ya... kalau sudah dapat disyukuri saja untuk tetap bertahan." 


Prinsip yang dilakukan dan diterapkan pak Plok ini bertolak  belakang dengan prinsipnya Dr. Abdul Kalam : "Love your Job but don't love your company." 

Tidak ada yang salah dan tidak ada yang menilai salah. Semua tinggal aksi saja. 
Justru saya melihat Pak Plok sebagai sosok Istimewa. 
Dia mencintai pekerjaannya walaupun dia kadang disemprot kata-kata pedas karena kerjanya lama, gak tepat pesanan, etc., dsb. Dia mencintai pekerjaannya walaupun gajinya susah merangkak naik. Dia setia pada kantor walaupun yang dia layani datang dan pergi. Dia tetap setia walaupun atasan dan pegawai monitoran di kantornya melang-lang buana dan merasakan nikmatnya Thailand, China, Hongkong, Australia, New Zealand, dan yang paling jauh adalah liburan prbadi dari kumpulan uang gaji. Uang Pak Plok sangat cukup. Mungkin bisa (hanya saja tidak sering) liburan ke luar negeri atau tidak bisa sama sekali.  

Masih di Kamis Pagi
Pak Plok. Itu bukan nama aslinya. Itu adalah nama karangan saya untuk salah satu orang yang pernah saya temui dan saya kagumi. 

Kalau kita tarik lagi pernyataan Dr.  Abdul Kalam : Love Your Job but Don't Love Your Company.
Pak Plok akan "Love the Job (mencintai tugasnya sebagai Office Boy dan mencintai lingkungan perusahaan) but Don't Love Your Company (Kebrutalan, Kemacetan, dan Persaingan Ketat yang berujung pada perasaan tidak manusiawi)"

Ini hari Kamis, kawan-kawan...
Telor Ceplok akan kembali pada seri lainnya. 


Komentar