Sengkuni Ingin Remisi

Sengkuni ingin Remisi
Puluhan nyamuk bertingkah di sekitar tubuhnya. Rasa pengap dan panas seolah telah menyatu menjadi kebiasaan. Sesekali, kepalanya terlempar benda-benda tumpul yang menyebabkan bunyi ‘thuk!’, lalu disambung suara tertawa cekikikan. Belum lagi air seni berwarna kuning bening mengalir tiba-tiba melewati ruangannya. Hari ke dua ribu seratus tujuh puluh, Sengkuni mendekap di dalam penjara.

Ia dijebloskan ke Rutan Kuncungan atas hasil putusan hakim, dua ribu seratus tujuh puluh hari yang lalu. Dalam ketidaktenangan pikiran, Sengkuni menerawang situasi sidang yang ia jalani, dua ribu seratus tujuh puluh  hari yang lalu. Persidangan yang cukup alot dan seru, mengingat jeratan undang-undang yang mengikat Sengkuni sebagai seorang terpidana. Pada saat itu, hakim yang berperan adalah Kresna Yuwana, S.H., M.Kn. jaksa penuntut Budi Gandamana, S.H., serta kuasa hukum Sengkuni, Arya Jakapitana, S.H.

“Rincian peristiwa berikutnya adalah soal pemerkosaan dan pembunuhan sekretaris menteri pertahanan Negara, Srikandi Wijayanti… Saudara Sengkuni, berdasarkan laporan jaksa penuntut serta keterangan saksi-saksi terkait : Arya Bimasena, Janaka Perbawangsa, dan Lurah Petruk… anda telah melakukan tindak pidana ini dalam periode waktu yang cukup lama, yaitu satu tahun. Saya sudah mendengarkan rangkaian tuduhan yang dibebankan kepada saudara. Selain itu, jaksa penuntut juga memperberat tuduhan yang dibebankan kepada saudara….”        Hakim Kresna Yuwana tampak datar membacakan hal itu.

Hati Sengkuni kecut, sebab Arya Jakapitana tak bisa membela lebih dalam proposal yang ia layangkan sebelumnya. Memberi banding pun, Arya Jakapitana tidak berani. Ia lanjut mendengarkan putusan hakim yang masih mengalir dari mulut Kresna Yuwana.

“Pembobolan rekening sejumlah tujuh ratus juta dolar mancanegara, ditambah pembunuhan dan pemerkosaan sekretaris menteri pertahanan Negara, Srikandi Wijayanti… Terpidana dijerat pasal berlapis undang-undang wayang kencana 1945, yaitu pasal 133 ayat 12, Kitab Hukum Baku Wayang Kencana (KH-Bawaken), tentang hukuman pembunuhan berencana disertai aksi perampokan, yang berujung pada hukuman mati …”

Melihat mulut hakim Kresna Yuwana, Sengkuni masih merasa kecut. Dalam hatinya, Sengkuni bicara, “kalau aku sedikit punya dana lagi, pasti ada 4 pengacara yang akan kubawa…Arrgh, Kresna-Kresna, mulutmu itu bisa apa? Kamu baru anak kemarin sore!”  Sengkuni tampak mengomel dalam hati.

“Dengan demikian, Saudara Aryo Gadhul Sengkuni, S.E., anda dijatuhi hukuman 9 tahun penjara!” (tok-tok-tok)
Tiba-tiba saja mata Sengkuni terbelalak. Dalam hati ia berkata, “hah? Malah ringan hukumannya? Wah, Jakapitana sudah bekerja baik-baik ini!” Ia menoleh ke arah kuasa hukumnya dan sama-sama mengangguk. Jakapitana, sang kuasa hukum membalas anggukan dengan yakin.

Peserta sidang, kuasa hukum, dan jaksa penuntut berdiri dengan garang melawan putusan hakim yang sudah diketok palu tiga kali.

“Tidak bisa! Ini tidak bisa! Harus ada persidangan lanjutan… yang mulia!”
“woiii, elu itu harusnya matiii… Sengkuni gila, anjing, sarap lu!”
“mati, woi! mati, woi!”
“Yang mulia, kami butuh persidangan lanjutan! Penelusuran kasus sudah jelas. Yang mulia!”
“Yang mulia! … putusan sidang lanjutan! Yang mulia!!!”

Jakapitana menarik Sengkuni keluar ruang sidang. Dalam kondisi yang ramai dan penuh sesak, sesekali Sengkuni terkena lemparan botol air mineral, dan botol air minum rasa-rasa, dan sisa-sisa snack. Lebih parah lagi, ketika sampai di luar gedung, Sengkuni dilempari sepatu dan kerikil kecil. Jakapitana sedikit berlaga sebagai bodyguard. Akhirnya, mereka sampai ke mobil berplat nomer SE 176 KUN. Di dalam mobil, kuasa hukum dan terpidana saling melempar pendapat.

“Buseet!! Suruh main lemparin orang aja, rakyat kita demen banget! Duh, sakit-sakit juga ini!... Eh, ngomong-ngomong tadi aku bisa kena 9 tahun?” Sengkuni bertanya kepada Sang Kuasa Hukum.
“Begini, mas Kun! Aku sudah layangkan proposal, preferably aku coba kita bayar denda, which is soal duit kan kita bisa atasi. Nah, jaman sekarang susah untuk nembus lebih enteng lagi…”
“Wah, tapi dik Jaka, ini sudah mending sih… karena kalau yang tak lakukan itu emang ujung-ujungnya mati!”
“Mas Kun, instead of 9 tahun, sebenernya enakan 6 tahun plus denda, you’ll choose this option, right? Siapa sih yang betah lama-lama di penjara? … coba liat kondisi, kalau udah jalan 3 tahun, aku propose lagi untuk remisi. Our country has a legal policy, called remission… ayolah, mas Kun! Duit bisa kita slametin… yang penting kan ting-ting criiing!” Jakapitana mengatakan kalimat terakhir dengan kode mata kiri dikedipkan.

Sesi Rohani
*Dhieeeggg*, sebuah pukulan melayang ke muka Sengkuni.
“Woiii, ngelamun aja! Jorok ya?” seorang sipir bernama Gatotbeling memukulnya tiba-tiba, dengan tangannya yang menerobos jeruji besi.
“Arrgghh, mbok gak usah mukul-mukul kenapa? Kalau aku masih muda, situ punya kepala udah kewer-kewer kena jotosanku!” Sengkuni tak ingin tinggal kalah dengan posisi terpukul.
“Ustadz Bisma Waluya sudah datang di pelataran rekonsiliasi. Silakan datang… biasanya bab agama udah paling rajin nih!” Gatotbeling membukakan pintu tahanan.

Sengkuni melangkah keluar ke bilik rekonsiliasi. Di sana, semua tahanan mendapatkan bimbingan spiritual berdasarkan agama yang dianut.

Sengkuni menghadiri sesi itu bersama tujuh orang yang ingin rekonsiliasi. Di bilik itulah, mereka semua memelas memohon pengampunan secara spiritual. Di bilik itulah, mereka juga melaporkan situasi kondisi perbaikan diri yang telah mereka jalani.

“Saya tak lagi memikirkan banyak hal kecuali kembali kepada yang ilahi. Saya tak lagi berpikiran jorok… Saya telah menyumbangkan tenaga saya untuk sebuah perubahan diri… dengan ikut membuat kerajinan hanger, dan penjilidan buku doa. Ustadz, saya buktikan hal itu dengan sumpah al-khabiro!”
Sengkuni pun ikut memberikan pengakuan diri.

“Apakah saudara Sengkuni sudah ikut mendoakan jiwa saudari Srikandi Wijayanti?”
Ustadz Bisma Waluya menanyakan hal itu.

“Sudah berkali-kali saya bawa dalam doa dan salat saya… saya doakan jiwa mbak Srikandi Wijayanti. Bahkan, saya pernah dihampirinya di dalam mimpi. Saya tak tenang, dan saya mohon pintu taubat kepada Allah…”
“Saudara Sengkuni, sudahkah anda menjalankan salat malam dan dzikir?”
“sudah, kyai!”
“Sudahkah anda menjalankan zakat, meskipun anda tak ada penghasilan selama di sini?”
“sudah, melalui upaya saya di rutan Kuncungan ini, membuat hanger dan penjilidan buku doa!”
“Sudahkah anda menjalankan puasa, selain puasa Ramadhan, yaitu puasa Daud, syawal, dan puasa Senin-Kamis.”
“sudah, dalam kondisi ini pun saya selalu berpuasa…”
Takzimkah saudara kepada semua Narapidana di sini? Sudahkah anda berintrospeksi diri?”
“mereka bahkan sering memukuli saya sampai muka saya tak berbentuk, tetapi saya tetap tak membalas mereka.”
“Mari kita berdoa bersama, saudara Sengkuni!”  
Sesi rohani pun selesai.

Jam makan siang
*blegg*sreeettt!!!” Gatotbeling menarik tangan Sengkuni dan menyeretnya ke ruang makan.
“Udah, gak usah mewek-mewek! Napi kok cengeng!” Gatotbeling pun menjeglongkan Sengkuni ke ruang makan.
Sengkuni teramat sangat kecut menerima perlakuan itu. Bertahaun-tahun dialaminya, namun tidaklah jadi terbiasa. Jiwanya menolak untuk beradaptasi di rutan Kuncungan ini. Ahh, apa daya… siapa sih yang mau hidup di penjara?

Inilah jam makan siang. Sambil menikmati santap yang rasanya alakadarnya, para napi berbagi keluh kesah. Keseharian mereka hanyalah olahraga, kerja, dipukuli, diseret, dipukuli, olahraga, kerja, bercanda, dipukuli, kerja, olahraga, bercanda, diseret, dipukuli, olahraga, kerja, bercanda, dipukuli, diseret…. Selalu sama.

“Oh iya, kita akan dapatkan pengumuman remisi seminggu lagi. Kita harus hubungi semua kuasa hukum kita, supaya memproses proposal pemerolehan remisi Narapidana oleh kementrian hukum baku wayang kencana (HUBAWAKEN)…” celetuk seorang napi kasus pembunuhan anak kecil yang bernama Agustinus Dursasana.

Mendengar hal itu, Sengkuni langsung terbelalak matanya. Seketika itu juga, ia teringat Jakapitana.
“Wah iya, sudah tiga tahun lebih aku di tempat busuk ini… bagaimana janji si Jaka? Harus aku ingatkan dulu sepertinya.”

Di ruang Telepon
Sengkuni masuk ke ruang telepon yang boleh dipakai oleh para napi satu kali sehari. Ketika masuk ke dalam ruangan itu, ia sedikit bergidik. Ia melihat sesosok penjaga yang sedikit bencong, bernama Sapwani.

“Wahhh, mau telepon kok dia yang jaga? Buset malesnyaaaa!!!” Sengkuni melangkah keluar lagi.
“Hoiii, mau nelpon?”  Sapwani bertanya halus.
“Ya emang urusanmu apa?”
“Nanya doang gak boleh?”
“kenapa kamu yang jaga? Kok bukan yang lain?”
“sekarang, bilik telepon itu tugasku! Mau telepon, ayok silakan….”

Sengkuni merasa yakin dengan kondisi itu. Perlahan ia masuk ke ruang telepon, tiba-tiba *dhieeessss*
Sapwani segera berteriak, “Hoiii!!! Kawan-kawan bertiga ayok keroyok!”

*bleggg, dhiesss, dhieeggg, dhueeessss!!!* siksaan datang menimpa Sengkuni hingga darah mengalir hangat dari hidungnya. Secara tiba-tiba, celana Sengkuni dipelorotkan. Selongsong batang karet dimasukkan ke dalam saluran pembuangan pribadi Sengkuni.

Sengkuni hanya bisa mengumpat, “Lepasin, **u !!!”

“Enak, kan? Sekarang buruan telepon, gih! 15 menit!”

Sengkuni langsung memutar nomor telepon Jakapitana.

“Ehh, (aduh, **) gimana proposal?”
“Proposal apa mas Kun?”
“Ya kamu ini (aduh, ***) kok lupaaaa??”
“Oh… Remission! It’s fine! I’ve been submitted the proposal. Kita lagi diproses nih… Aku udah jalanin. Santai, santaiiii!!!”
“Nah, aku ada rencana bagus biar bisa keluar cepet (aduh ****) kamu harus dengerin!”
“daritadi aduh-aduh muluuu!!! Kenapa sih?”
“Jelas aduh-aduh! B**l-ku ditusuk pake batang karet!”
“Hah? Beeeuughhh!!! Enak-enak sakit gimana gitu, ya?”
“Udah! Gak usah dilanjutin…. Nih, dengerin! Aku ada kenalan orang Koran Kedaulatan Wayang (KW), bikin berita tentang perbaikan diriku, kayak ‘Sengkuni menata hidup baru’, ‘Sengkuni Mulai Zakatkan Buku Doa’, dan sebagainya… kamu nanti hubungi nomer Tiga-Tiga-Nol-Tujuh-Delapan, terus minta jasa liputan wartawan ke Rutan Kuncungan.”
“Nah, fungsinya berita itu apa?”
“Berita itu nanti jadi bukti jurnalistik biar proposal makin kuat!”
“oooo, I see…. Okey, noted!”
“ya, sekarang ditelpon! Ora mung notad noted wae!”

Malam pun tiba. Sengkuni tidur dengan alunan orchestra nguing-nguing nyamuk di sekujur tubuhnya.

Ruang Pertemuan
*Gdaaaanggg!!!* “Woiii, bangun!” Sipir Gatotbeling memukul jeruji dengan kerasnya.
Jantung Sengkuni berdegup kencang karena tidak siap menerima suara kencang.
“Iyaaaaa!!! Kenapa???” Sengkuni bertanya sambil mencuci muka dengan air yang ada di gelas.
“Itu, ada wartawan… katanya mau wawancara!”
“Hah? Cepet banget?”
“Cepet banget apanya?”
“Maksudnya kenapa ada wartawan?”
“Ya mana saya tahu? Nih saya bukain pintu!”

Sengkuni melangkah keluar dari sel dengan tendangan keras Gatotbeling di pantatnya *Bukkk!!!”

Dengan tergopoh-gopoh, Sengkuni menuju ke ruang pertemuan A.

“Bapak Sengkuni?” Tanya sang Wartawan dengan dengan lugu.
“Iyaaa!!! Saya sendiri!” Sengkuni menjawab alakadarnya.
“Saya Irawan, Wartawan Koran Kedaulatan Wayang…”
“Ohh, iya… monggo, saya ikut prosedurnya!”
“Langsung saja saya wawancara…”

Sengkuni memaparkan penderitaannya selama di Rutan Kuncungan. Sesekali ia menangis terpaksa sehingga cerita yang ia paparkan terkesan mengharukan. Ia pun menceritakan bahwa rekonsiliasi dirinya telah maksimal dan berani menyesali, melakukan pekerjaan bermakna, dan bertobat demi pembebasan dirinya.

“Di Negara kita yang menjunjung tinggi kebebasan individu yang bertanggung jawab, saya telah melakukan rekonsiliasi. Saya paparkan cerita saya ini supaya Negara mendegar… Sengkuni tak selamanya narapidana. Sengkuni bisa menjadi seorang Kresna atau bahkan Puntadewa, presiden kita ini…”

Wartawan Irawan ikut menitikkan air mata mendengar cerita itu. Dasar seorang wartawan baru, ia pasti mudah terharu. Merekapun berjabat tangan.

Seminggu kemudian, seorang tahanan kelas bodrek berlari-lari membawa Koran baru dengan headline, “Perbaikan Diri Sang Sengkuni.”

“Mas Kuni masuk koraaan!” Seisi Rutan pun riuh gaduh mendengar berita itu.

Pengumuman Remisi
Menjelang peringatan hari kemerdekaan Negara Indopurwa, para narapidana dikumpulkan untuk dapatkan informasi remisi.

Kepala Polisi Negara yang bernama Werkudara, M.M., menjadwalkan pertemuan dengan para Narapidana yang permohonan dan pemberian remisinya lulus uji.
Tiga hari kemudian, upacara bendera peringatan kemerdekaan Negara Indopurwa. Seluruh narapidana ikut di upacara itu dengan muka-muka asam menahan panas terik matahari. Demi Negara, apapun kondisinya harus dihadapi.
Amanat upacara oleh inspektur Rumah Tahanan Ugroseno, S.H. mengumumkan hasil remisi yang lulus uji.

“Kemerdekaan berarti introspeksi untuk bekerja dan memperbaiki diri lebih baik lagi! Oleh karena itu, saya harap bagi siapa yang mendapatkan remisi masa tahanan, dapat memperbaiki diri dan mau bekerja yang bermanfaat untuk kebaikan Negara tercinta! Saya umumkan hasil remisi :

1.       Sdr. Hari Aswatama, terpidana 20 tahun penjara atas kasus pemerkosaan, anda mendapat remisi 3 tahun masa tahanan.
2.       Sdr. Endi Jayadrata, terpidana 12 tahun penjara atas kasus pembobolan Purwa Bank, anda mendapat remisi 4 tahun masa tahanan.
3.       Sdr. Arya Gadhul Sengkuni, terpidana 9 tahun penjara atas kasus pembunuhan, pemerkosaan Saudari Srikandi Wijayanti, dan pengalihan rekening Purwa Bank atas mata uang mancanegara, anda bebas pada tanggal 25 Agustus 2015….”

Para Narapidana langsung terbengong-bengong mendengar remisi yang diterima Sengkuni.
Sengkuni langsung mengekspresikan “Aaammiin, YRA!”

Tanggal 25 Agustus 2015
Jakapitana menjemput Sengkuni di halaman Rutan Kuncungan. Sengkuni sedikit member tips kepada Gatotbeling, sipir yang sering menyiksanya.

“Nih, buat beli rokok! Tuh, kurang baik apa saya ini? Kamu ini mukulin saya terus, tapi ujung-ujungnya saya kasih duit juga!”

Gatotbeling hanya tersenyum asin melihat gelagat Sengkuni.

Dipakainya kacamata hitam dan dinaikinya mobil kelas Jalaphard, mobil mewah sepanjang jaman. Sengkuni membuka pembicaraan di dalam mobil karena hari ini ini begitu special.
“Kamu ini Jak! Bener-bener andalan!!!” Sengkuni berkata demikian sambil menepuk-nepuk bahu Jakapitana.
“See, don’t mention it mas Kun…!”
“Gini Jak, kamu masih simpan 15 persen uang yang pernah masuk ke rekening? Atau sisa dari hasil bobolan itu?”
“Tenang, mas Kun! Masih ada… gak sepenuhnya jadi denda Negara, kok!”
“Bagus! Itu yang aku rencanakan!!!”
“Emang ada rencana apa? What’s next?”

Sengkuni pun membisikkan sesuatu ke telinga Jakapitana.

6 September 2015, Warung Bu Keling, Kota Cangkirbumi
Televisi di warung itu ramai dikerubungi oleh banyak orang. Pasalnya, ada berita yang sedikit menggelikan dan menggemaskan.

Dengar saja apa yang dibacakan oleh pembawa berita ini :

“Selebihnya ratusan mahasiwa terlibat baku hantam dengan aparat terkait dengan proses pencalonan walikota Hastina… Pembakaran Ban dan Perusakan gerbang Kantor Wilayah KPU pun terjadi. Kerusuhan tak dapat dihindarkan. Orator mahasiswa yang bernama Parikesit, mengatakan bahwa calon walikota nomor urut 2 seharusnya tidak lolos uji kelayakan. Adapun calon walikota nomor urut 2 ini bernama Aryo Gadhul Sengkuni, mantan terpidana tiga kasus yang mendapatkan program remisi, kini maju mencalonkan diri untuk pilkada Kota Hastina. Pasalnya, status hukum Sengkuni masih dipertanyakan… Aksi semakin diperparah dengan pelemparan telur busuk ke spanduk dan pembakaran baliho kampanye Aryo Gadhul Sengkuni.”

Sambil mengernyitkan dahi, pemilik warung ini berkelakar, “yaaaa… namanya juga merdeka, yang penting tahu jati dirinya!”


Malang-Yogya-Jakarta, 17 Agustus 2015

-ANM-

Komentar