Bulu kemoceng menyibakkan debu demi debu yang
terselip di sela-sela lekukan patung-patung kecil. Sesekali, terdengar suara
gumam senandung lagu-lagu Natal, diiringi dengan helaan nafas dan suara bersin
akibat debu-debu yang beterbangan. Ya, patung-patung itu adalah patung-patung
diorama Natal yang sedang disusun mengisi kandang dekorasi buatan sendiri.
Namanya Laurent. Ia adalah seorang biarawan Katolik
Ordo Cisterciensis Strictiorist Observantiae (OCSO) yang tergabung di biara
Saint Mathieu, di kota kecil Sidi Bel Abbas, Aljazair. Laurent bersama
kesebelas temannya datang ke negeri ini untuk bermisi mengobati korban-korban
perang akibat kemelut politik di negeri Afrika Utara yang kaya minyak ini.
Sekumpulan biarawan OCSO ini datang dari Caen, Prancis, sejak tujuh tahun yang
lalu.
Sambil menyibakkan debu, sayup-sayup tedengar suara
anak kecil yang bertanya kepada Laurent.
“Patung-patung siapakah ini?”
Laurent menjelaskan nama-nama patung itu, juga
menjelaskan peristiwa Natal pada sang anak umur sepuluh tahun yang masih banyak
menyimpan keingintahuan.
“Ini adalah bayi Yesus, yang ini Maria ibunya, dan
yang ini adalah Yusuf, suami dari Maria … Ketiga raja ini juga bahagia atas
kelahiran Yesus. Yang hitam bernama Gaspar, yang berjubah kemilau ini bernama
Melchior, dan yang berjubah panjang dan duduk di atas unta ini bernama
Balthazar. Mereka adalah tiga raja yang datang dari timur untuk menyambut
kelahiran Yesus… dan yang di belakang sambil membawa hewan-hewan ternak itu
adalah para gembala yang juga ikut berbahagia.”
Laurent menjelaskan sambil menatap ramah sang bocah.
Lalu, sang bocah memberikan celotehnya lagi, “Mana yang bernama Yusuf? Itu
adalah namaku juga!”
Laurent menatapnya sambil tersenyum dan menyodorkan
patung kecil Yusuf untuk dipegang oleh Yousouf si bocah umur sepuluh tahun.
Yousouf tampak memainkan patung itu, menjalankan
layaknya bermain teater boneka, sambil memberikan dialog. Laurent tersenyum
melihat tingkah lugu Yousouf yang penuh imajinasi. Sesaat kemudian, Laurent
meminta patung itu untuk diletakkan kembali ke tempatnya.
“Yousouf… ingat pesan paman! Kalau kamu besar nanti,
jadilah seperti seorang Yusuf! Seorang yang sederhana dan suka menolong sesama.
Dia ini adalah pemimpin besar, sehingga anaknya pun seorang pemimpin besar!
Kalau kamu sudah punya banyak teman ketika sekolah dibuka nanti, bertemanlah
kepada orang yang tak ingin berteman kepadamu. Jadilah pelita di sekolahmu!”
Laurent melihat anggukan lugu Yousouf. Ia mengelus
kepalanya sambil memberikan sebotol susu bercampur madu untuk dibawa pulang.
Tiba-tiba, terdengar suara ketukan pintu yang kasar dan bertubi-tubi,
“tok…tok-tok-tok…tok-tok.”
Yousouf menoleh ke arah suara itu dan berlari
menghampiri pintu yang diketuk, diikuti oleh Laurent. Setelah Laurent membuka
pintu kayu tersebut, tampaklah seorang wanita bercadar hitam dengan membawa
lampu tangan, karena waktu itu sangat gelap tanpa ada pencahayaan lampu. Hanya
cahaya bintang dan bulan sabit yang menyinari pelataran biara dan hamparan
perkampungan di sudut kota Sidi Bel Abbas.
“Apakah dia nakal hari ini?” Wanita itu langsung
bertanya tanpa mengucapkan salam sedikit pun.
“Tidak, dia baik-baik saja… aku membekalinya susu
madu di botol itu.” Laurent menjelaskan perilaku Yousouf selama dititipkan di
biara Saint Mathieu ini.
“Oh, terima kasih! Bolehkah aku menimba air sumurmu?”
“Silakan…”
Laurent memberikan tangannya kepada Yousouf dan kedua
insan itu melakukan salam yang sedikit modern. Tos! Lalu, Laurent melangkah
masuk kembali ke biara.
Wanita bercadar itu adalah ibu Yousouf yang sering
menitipkan anaknya ke biara ini. Ia menitipkan anaknya karena kondisi perang
yang memungkinkan Yousouf dan segenap isi rumahnya terkena serangan artileri.
Lebih parah dari itu, tentara ekstremis pembela kaum pemberontak sering
melakukan operasi untuk mengambil anak atau sekadar meminta roti, air, hingga
membunuh mereka yang membangkang. Laurent pun sampai hafal kebiasaan si ibu
setelah menjemput anaknya : mencucikan kaki, tangan, dan kepala Yousouf sebelum
pulang.
Ketika suara burung malam berkumandang, Lonceng biara
diayun-ayunkan sedangkan di sudut pojok kampung diserukan suara azan. Waktu
berdoa pun tiba.
***
Semua biarawan Saint Mathieu berkumpul di kapel
tengah. Tidak ada satu pun lampu yang menerangi ruangan kapel, kecuali sinar
bulan yang menyeruak masuk melalui celah-celah jendela bermozaik. Keduabelas
biarawan berdoa dalam kidung advent yang khidmat untuk menyambut hari raya
Natal. Mereka terbagi di dua sisi sayap kapal. Di sisi kanan ada Pascal, Laurent,
Fabien, Vincent, Franck, dan Claude. Di sisi kiri ada Robert, Louis, Francesc,
Boniface, dan Jean. Kepala biara mereka adalah Bapa Abas Marc yang memimpin
jalannya ibadat advent ini. Kidung-kidung disenandungkan dalam paduan suara
laki-laki tanpa adanya iringan organ atau alat music apapun. Silencio! Itulah
paham ordo dalam berdoa.
Dalam pikirannya, Laurent membayangkan situasi Natal
yang pernah ia alami bersama keluarga besarnya, sebelum ia bergabung ke dalam
ordo ini. Ia membayangkan hidangan kalkun panggang, sosis merah, anggur, dan
siraman minyak zaitun di dalam salad buah dan sayuran.
“Ah, aku sudah berkomitmen dan aku pun harus menjaga
komitmen ini!” begitulah suara Laurent dalam hatinya. Ia pun melanjutkan kidung
adventnya.
Sekonyong-konyong, terdengar suara gas mobil wagon
yang berhenti tepat di depan gerbang biara. Kemudian, suara bantingan pintu
mobil pun terdengar kencang dan dilanjutkan dengan suara gedoran pintu gerbang
yang kasar dan bertubi-tubi, “Brak-brak-brak-brak!”
Bapa Marc menghentikan kidungnya dan ia berbalik
badan ke arah para biarawan. Suara gedoran pintu gerbang makin kencang
terdengar.
“Buka pintu!!! Siapapun kamu, buka pintu!!!” itulah
suara yang terdengar.
Marc dan para biarawan saling menatap ragu.
“Baiklah saudara-saudaraku… aku akan membuka gerbang.
Laurent dan Francesc temani aku ke depan!” Marc mengajak kedua biarawan ini
untuk menemaninya.
Mereka berjalan menyusuri lorong yang menghubungkan
biara dengan gerbang depan. Suara gedoran semakin kencang terdengar dilengkapi
dengan suara gonggong anjing-anjing kampung yang ada di sekitar perkampungan.
“Hei, kau dengar atau tidak? Buka pintu!!!” teriak
seseorang yang menggedor pintu.
Marc pun membuka gerbang dan di hadapannya,
sekumpulan orang berbaju guerilla, memiliki kumis-janggut yang tebal dan
panjang, lengkap dengan sorban dan senjata di tangan mereka. Melihat
pemandangan itu, jantung Marc berdegup kencang.
“Ya, ada yang bisa saya bantu?” Marc mencoba
menyapanya ramah.
“Aku Jamal! Siapa kamu?” orang itu ingin mengetahui
nama orang yang dihadapinya.
“Saya Marc… ada apa kalian menggedor gerbang kami
begitu keras? Kami sedang berdoa…”
“Oh… maafkan kelancangan kami! Kami dengar, kalian
adalah orang yang pandai mengobati luka tembak… kawanku seperjuangan meregang
nyawa dan aku ingin meminta bantuan kalian! Bisakah?”
“Bolehkah saya lihat kondisi kawanmu itu?”
Kawan-kawan Jamal segera mengeluarkan sang korban
luka tembak dari dalam mobil wagon yang cukup usang. Marc meminta tolong
Laurent dan Francesc untuk mengambil tandu, sedangkan biarawan lain menyiapkan
peralatan operasi sederhana dan obat-obatan luar.
“Kami sangat haus! Bolehkah kami mengisi tempat minum
kami?” Jamal mengutarakan perasaan dahaganya.
Dengan sebuah isyarat, Marc mempersilakan mereka
mengisi botol-botol minum. Salah seorang dari militant ekstremis ini
berjalan-jalan di sekitar pelataran biara dan ia pun melihat anjing yang
menggeram karena kedatangan mereka. Tiba-tiba, suara rentetan senapan mesin
ringan memberondong anjing itu. Matilah anjing penjaga biara dalam waktu
sekejap.
“Hei, kenapa anjing kami dibunuh?” Marc mencoba
menanyai motif mereka.
“Anjing adalah binatang yang tidak boleh hidup di
Sidi Bel Abbas, juga di seluruh Aljazair. Mereka adalah penyebar penyakit!
Kalau kalian memelihara anjing, kalian tak ubahnya seonggok penyakit!”
Marc tak ingin berdebat dengan mereka. Ia pun segera
masuk ke biara dan meminta sekawanan militant ekstremis ini menunggu di luar.
“Tunggu sebentar, saya dan teman-teman saya akan
mengobati kawanmu ini.”
***
“Bapa Marc, posisi kita semakin tidak aman!” Boniface
mengutarakan pendapatnya karena kaum ekstremis telah menyatroni kediaman
mereka.
“Biarkan saja kita tidak aman… yang penting kita
tetap memegang kewajiban kita, apapun yang terjadi!”
“Bapa, orang ini sesungguhnya tidak bisa dipulangkan
saat ini! Dia harus diinapkan.” Vincent pun memberikan laporan tentang kondisi
si laki-laki militant yang sedang meregang nyawa.
“Biar kukatakan kepada mereka…”
Marc melangkah keluar untuk menanyai para kaum
ekstremis ini. Akan tetapi, para kaum ekstremis ini tidak ada di pelataran
biara. Marc segera mencarinya di seluruh ujung bangunan biara dan ia pun
mendapati mereka sedang berada di dalam kapel yang sesungguhnya suci. Mereka
tampak memegang-megang buku doa, salib, dan benda-benda rohani lainnya.
“Emmmm… kawan-kawanku, aku ingin menyampaikan bahwa
kawan kalian yang sedang meregang nyawa itu tidak dapat pulang malam ini juga.
Dia harus menginap untuk dirawat lebih lanjut.” Marc mencoba membuka
pembicaraan.
“Oh, begitu? Tidak! Aku ingin kawanku itu pulang
sekarang juga!”
“Tidak bisa… ia mengalami pendarahan yang begitu
banyak dan kami akan mengupayakan sumbangan darah dari jaringan rumah sakit di
Sidi Bel Abbas.”
“Kalian tidakkah mengerti? Baru saja aku dan
kawan-kawanku ini melihat tempat kalian ini. Rupa-rupanya kalian orang-orang barat
yang perlahan-lahan ingin menanamkan paham kalian di sini! Aku tahu itu!
Jujurlah!”
“Kedatangan kami di sini sudah sejak lama, sebelum
pecah perang pemberontakan Nag Abdoullah. Kami ada di sini ketika pemerintah
Aljazair meminta bantuan tenaga kesehatan dan kami datang dengan sukarela.”
“Tak perlulah kalian berkilah… kalau kalian
orang-orang medis, mengapa kalian beratribut seperti itu?”
“Tolong dengarkan saya dulu…”
“Tidak! Rais, Shuaib, bawa si Medjani keluar… kalau
dia harus mati kehabisan darah, biarkan saja! Dan, dengarkan perkataanku… aku
memberimu waktu 1 minggu untuk pulang ke negaramu! Kalau tidak, tempat ini
sudah kami ratakan.”
Sekelompok militant ekstremis itu memaksa masuk ke
ruang perawatan. Mereka menarik paksa kawan mereka yang sedang dijahit dan
membawanya kembali masuk ke mobil wagon mereka melalui lorong yang
menghubungkan biara dengan gerbang depan. Salah satu dari mereka ada yang
menendang patung-patung diorama Natal yang telah tersusun rapi.
Para biarawan pun terpaku memandang peristiwa yang
baru saja menimpa mereka.
***
Keesokan paginya, para biarawan kembali berkumpul
untuk berdoa dan dilanjut dengan santap pagi. Ketika santap pagi, salah seorang
dari biarawan ini membacakan kisah renungan atau refleksi hidup sementara kawan-kawan
lainnya menyantap sarapan pagi. Pembaca renungan itu bergilir setiap harinya.
Itulah kebiasaan hidup membiara.
Seusai santap pagi, mereka kembali beraktivitas.
Vincent, Boniface, dan Jean memerah sapi ternak di belakang biara sedangkan
Laurent dan yang lainnya memetik hasil kebun sayuran yang mereka tanam sendiri.
Francesc dan Robert berjaga di klinik pengobatan yang
baru saja mereka rapikan setelah insiden semalam. Tiba-tiba, terdengar suara
ketokan pintu yang kasar tetapi berpola, “tok, tok-tok-tok, tok-tok.” Robert
membukakan pintu dan tampillah wanita bercadar hitam dan di belakangnya ada 7
orang ditandu dan sedang meregang nyawa akibat serangan senjata.
Sang wanita itu membuka dialognya, “tolonglah kami…
sahabat-sahabat kami ini butuh berobat.”
Francesc segera membuka gerbang lebar biara dan
membiarkan mereka masuk ke ruang perawatan. Francesc dan Robert akhirnya
dibantu oleh para biarawan lain untuk mengobati korban-korban perang.
Tampaklah Laurent berbincang-bincang dengan salah
seorang laki-laki di pintu gerbang biara.
Satu jam kemudian, para korban berhasil dibalut
lukanya dan dibiarkan beristirahat di biara sampai kondisinya cukup pulih untuk
kembali berjalan.
“Paman… pamaan… bolehkah aku melihat patung-patung
kecil?” Secara tiba-tiba, Yousouf berlari menghampiri Laurent yang sedang
berjalan kembali masuk ke biara. Laurent menunjukkan gua Natal dekorasi yang
sudah hancur oleh tendangan salah seorang ekstremis tadi malam.
“Mereka sudah pergi…”
Yousouf pun menunjukkan wajah kecewa. Ia kehilangan
teman bermain yang semalam diperkenalkan oleh Laurent.
***
Setelah ibadah siang, Laurent, Boniface, Jean, dan
Claude menghadap Bapa Marc di ruangannya. Bapa Marc membaca aura wajah mereka
yang sedikit berbeda. Sesaat mereka tampak hening tanpa ada suara hingga
akhirnya Laurent membuka pembicaraan kepada Bapa Marc.
“Bapa Abas Marc… izinkanlah kami membuka Scapula.”
Laurent tampak sedikit terbata-bata ketika mengatakan kalimat itu.
“Kenapa kalian berkata demikian?” Bapa Marc tampak
sedikit mengernyitkan dahinya ketika mendengar perkataan Laurent.
“Kami akan angkat senjata… kami juga berhak
melindungi diri, setidaknya juga untuk mereka yang dirawat di biara kita ini.”
“Darimana kalian mendapatkan senjata?”
Laurent pun mengeluarkan senjata senapan mesin ringan
dari dalam jubahnya beserta magazin-magazin peluru yang penuh dan belum
digunakan. Melihat hal itu, Marc hanya menghembuskan nafas panjang sambil
memegang dahinya.
“Bagaimana Bapa? Kita semakin terancam! Negeri yang
kita diami saat ini sedang vakum penguasa dan ekstremis tadi malam dengan lancang
berkata akan mengusir kita. Mereka tak ada kuasa satu pun dan kita tidak bisa diam, Bapa!”
“Kalau kalian angkat senjata, aku tidak bisa
mencurahkan berkat dan doa restuku kepada kalian!”
“???”
“Ketika kalian angkat senjata, maka kasih tak ada lagi di tangan dan perbuatan
kalian. Kalian telah menodai janji dan kaul kalian sebagai orang terpilih
yang masuk ke ordo ini.”
“apakah sebaiknya kita pulang saja ke Prancis?” Jean mencoba membuka suara.
“Tidak, anakku… sebaiknya kita mati di sini daripada
melanjutkan hidup dengan meninggalkan komitmen kita di sini. Sekarang,
kembalikan senjata itu kepada pemiliknya… aku tak mau tahu darimana senjata itu
kalian dapatkan!”
“Baiklah, kalau begitu kami permisi dahulu…”
Claude hanya menggeleng-gelengkan kepala setelah
keluar dari ruangan Bapa Marc.
***
“Pamaaann… pamaannn… bagaimana aku bisa melihat
patung-patung itu lagi?” Yousouf masih mengejar Laurent. Dengan sabar dan ramah,
Laurent mengambilkan kertas lalu menggambarinya dengan pensil dan menusuk
kertas itu dengan dua batang kayu kecil hingga kertas dapat dipegang dengan
gagang kayu.
Gambar itu menggantikan patung-patung Natal yang
telah hilang ditendang oleh para ekstremis. Yousouf senang bukan main karena ia
masih bisa melihat sosok-sosok dalam diorama yang telah hilang dalam bentuk yang
berbeda.
“Simpanlah gambar itu, Yousouf… kalau kau butuh
kertas untuk menggambar, cari saja aku… aku akan mengobati paman-paman yang sedang
terluka di sana.” Laurent melangkah masuk ke ruangan perawatan sedangkan
Yousouf asik memainkan diorama kertas buatan Laurent.
***
Sore harinya, matahari hendak bersembunyi di balik bukit
karas di ujung perkampungan. Perlahan tapi pasti, suara lonceng diperdengarkan
dan suara azan pun diserukan. Waktu berdoa pun dimulai.
Para biarawan melanjutkan ibadah hari penantian untuk
menuju Natal yang tinggal satu hari lagi. Bapa Marc membuka doa dengan
memohonkan keselamatan bagi seluruh korban perang di Aljazair, terkhusus lagi
di kota Sidi Bel Abbas.
Para biarawan ini berdoa dalam situasi yang tak
menentu. Sesekali terdengar suara tangisan wanita atau suara gonggong anjing
yang berubah menjadi suara lenguhan lemah. Suara cacian dan nama-nama orang
besar dalam agama pun diserukan tanpa mengerti etika penyebutan nama.
Situasi yang cukup rumit untuk negeri ini, mengingat
negeri Aljazair adalah negeri yang baru saja merdeka dari Prancis. Dalam
kemelut politik ini, tak ada satu orang pun yang menggantungkan cita-cita.
Cita-cita mereka untuk hidup lebih baik dibiarkan abu-abu tanpa ada kejelasan
warna lain.
Dengan isyarat kedipan mata, Claude memanggil Laurent
dan jari telunjuknya menunjukk ke bawah. Laurent bingung akan hal itu, dan
akhirnya ia memahami juga. Laurent melihat sebungkus kain putih dan secarik
kertas bertuliskan, “kalau aku berteriak, melompatlah dari panti… bawa
bungkusan putih ini dan bukalah… kokanglah ketika kita berjalan di lorong… dan
lepaskan scapula.”
Laurent membaca tulisan-tulisan kecil yang sedikit
kabur itu. Ia pun kemudian membalas dengan anggukan yakin kepada Claude. Jean
dan Boniface saling meyakinkan. Salah seorang dari mereka yang sudah cukup
berumur tua, yaitu Louis memergoki isyarat yang sedang terjadi. Buru-buru
isyarat itu berhenti dengan kompak dan spontan hingga doa pun dilanjutkan.
“Bapa Maha Pemurah, melalui Kristus putra-Mu…
selamatkanlah kami…
Karena besar kasih-Mu… selamatkanlah kami…
Karena Kau tak pernah meningglalkan umat-Mu…
selamatkanlah kami…
Dalam rahmat penebusanmu… selamatkanlah kami…
Veni, Veni
Immanuel… Captivum Solve Meum…
Qui Gemit in
Excilio… Privatus Dei Filio”
Doa litani mulai dilantunkan dengan jawaban yang
dinyanyikan, “selamatkanlah kami…”
Doa itu terus berkumandang dan menghiasi sinar bulan
yang perlahan masuk berpendar di celah-celah mozaik jendela biara. Suasana yang
begitu sendu dan khidmat, seolah-olah Tangan Tuhan menyapa mereka melalui sinar
bulan.
“Gaude… Gaude…
Immanuel!”
Cahaya putih mengoyak biara dengan cepat. Kidung
Litani mulai dilantunkan dalam hati, seolah-olah mereka telah selesai
menyanyikannya. Para Biarawan pun tak lagi melihat, mendengar, berbicara satu
sama lain, dan tak lagi menyanyi. Dalam malam penantian ini, mereka telah
mempersembahkan bakti hidup mereka dalam naungan kasih dan kesungguhan hati.
“Telah hadir
bagimu, seorang putra penyelamat dunia!”
***
Matahari kembali muncul dari horizon di ufuk timur
perbukitan kota Sidi Bel Abbas. Suara burung mencicit-cicit mencari makan dan
tiba-tiba diiringi suara burung pemakan bangkai yang entah datang dari mana.
Embun tak lagi bersisa karena cuaca angina kering semalam. Sesekali terdengar
suara tangisan dari rumah-rumah warga di sekitar biara.
Sekonyong-konyong terdengar suara sumpah serapah
keributan yang muncul dari beberapa laki-laki di perkampungan itu. Sepertinya,
perkampungan sudut kota Sidi Bel Abbas sedang beraura merah. Suara deru mesin
truk dan alat-alat berat perlahan-lahan terdengar dari kejauhan.
Yousouf si bocah sepuluh tahun ini berlari-lari
menuju biara hendak mencari Laurent, sang biarawan yang sudah menjadi
sahabatnya. Ketika sampai di gerbang biara, Yousouf terpaku melihat pemandangan
di depan matanya. Biara itu tinggal reruntuhan.
Yousouf juga melihat tentara sipil Aljazair
mengangkut mayat-mayat berjubah putih dengan list hitam. Ia pun segera
mengenali mayat-mayat yang sedang diangkut ke dalam bak truk itu. Ia melihat
wajah senyum dan kaku seorang Laurent de Jouvet, OCSO, biarawan yang telah
menjadi sahabatnya. Kini, ‘paman Laurent’ tak lagi berkisah, memberinya susu
madu, dan ia pun dan harus diangkut ke truk dengan paksa.
“Yousouf… segeralah naik ke truk!” teriak ibunya dari
dalam truk yang mengangkut para pengungsi.
Yousouf berjalan gontai menuju truk pengungsi perang
kemelut politik di negeri yang kaya akan minyak, di Afrika utara ini. Salah
seorang laki-laki tua membawa radio bertenaga baterai yang memberitakan
kejadian semalam, “serangan artileri terjadi di Sidi Bel Abbas…” Yousouf buru-buru
merebut radio itu dari tangan sang laki-laki tua.
“Setidaknya 7 rumah sakit terkena imbasnya. 12 warga
Prancis tewas dalam serangan ini. Para pemberontak merilis ultimatum yang
disebarkan melalui poster-poster dan selebaran pamflet.”
Tanpa disadari, air mata Yousouf meleleh mengaliri
bekas luka di pipinya.
***
“Hei, kau berdiri mematung di sini…” kata Zain,
seorang mahasiswa Aljazair yang sedang menimba ilmu di Prancis. Zain melihat
temannya yang melamun berkepanjangan sambil menatap diorama Natal dan Pohon
Natal besar di depan kathedral Saint Etienne, Prancis.
“Ohh… tidak! Aku terkenang masa kecilku ketika
tinggal di Sidi Bel Abbas dulu…” mahasiswa yang melamun itu menimpali pertanyaan
Zain. Si pelamun merogoh saku tas nya dan mengambil sebungkus plastik kumal
berisikan kertas bergambar diorama Natal yang hampir luntur.
“Dulu ketika aku kecil, ada seorang Prancis yang
begitu lembut budinya dan suka memberiku susu madu dalam satu botol. Ia pernah
berpesan : ingat pesan paman! Kalau kamu
besar nanti, jadilah seperti seorang Yusuf! Seorang yang sederhana dan suka
menolong sesama… Kalau kamu sudah punya banyak teman ketika sekolah dibuka
nanti, bertemanlah kepada orang yang tak ingin berteman kepadamu. Jadilah
pelita di sekolahmu!”
Zain menggeleng-gelengkan kepala sambil membayangkan
masa kecil kawannya itu.
“Mungkin ia orang baik yang sudah bahagia di alamnya…
mari kita ikut doakan dalam dzikir nanti malam… Yousouf, cuaca semakin dingin
dan hampir Maghrib, ayo kita sholat…”
Bandung, 22 Desember 2015 – Dilanjutkan di
Jogjakarta, 23-24 Desember 2015
Terinspirasi dari Film “Of Gods and Men” yang
berlatar Algeria.
Sekelumit Informasi
SCAPULA : List jubah biarawan yang disertai tudung
kepala (capuccin), pertanda untuk biarawan yang telah memegang kaul dan janji
hidup dalam misi.
OCSO : Ordo Cisterciensis Strictiorist Observantiae,
atau biasa disebut Trapist, salah satu ordo religius dalam agama Katolik yang
bermisi untuk hidup secara monastik, mengupayakan hasil bumi untuk
kesejahteraan warga di sekitar biara, merawat orang sakit, dan sebagainya.
Abas : Pemimpin biara.
Litani : pendarasan doa permohonan.
Komentar
Posting Komentar