Scapula

Bulu kemoceng menyibakkan debu demi debu yang terselip di sela-sela lekukan patung-patung kecil. Sesekali, terdengar suara gumam senandung lagu-lagu Natal, diiringi dengan helaan nafas dan suara bersin akibat debu-debu yang beterbangan. Ya, patung-patung itu adalah patung-patung diorama Natal yang sedang disusun mengisi kandang dekorasi buatan sendiri.

Namanya Laurent. Ia adalah seorang biarawan Katolik Ordo Cisterciensis Strictiorist Observantiae (OCSO) yang tergabung di biara Saint Mathieu, di kota kecil Sidi Bel Abbas, Aljazair. Laurent bersama kesebelas temannya datang ke negeri ini untuk bermisi mengobati korban-korban perang akibat kemelut politik di negeri Afrika Utara yang kaya minyak ini. Sekumpulan biarawan OCSO ini datang dari Caen, Prancis, sejak tujuh tahun yang lalu.

Sambil menyibakkan debu, sayup-sayup tedengar suara anak kecil yang bertanya kepada Laurent.
“Patung-patung siapakah ini?”

Laurent menjelaskan nama-nama patung itu, juga menjelaskan peristiwa Natal pada sang anak umur sepuluh tahun yang masih banyak menyimpan keingintahuan.
“Ini adalah bayi Yesus, yang ini Maria ibunya, dan yang ini adalah Yusuf, suami dari Maria … Ketiga raja ini juga bahagia atas kelahiran Yesus. Yang hitam bernama Gaspar, yang berjubah kemilau ini bernama Melchior, dan yang berjubah panjang dan duduk di atas unta ini bernama Balthazar. Mereka adalah tiga raja yang datang dari timur untuk menyambut kelahiran Yesus… dan yang di belakang sambil membawa hewan-hewan ternak itu adalah para gembala yang juga ikut berbahagia.”

Laurent menjelaskan sambil menatap ramah sang bocah. Lalu, sang bocah memberikan celotehnya lagi, “Mana yang bernama Yusuf? Itu adalah namaku juga!”
Laurent menatapnya sambil tersenyum dan menyodorkan patung kecil Yusuf untuk dipegang oleh Yousouf si bocah umur sepuluh tahun.

Yousouf tampak memainkan patung itu, menjalankan layaknya bermain teater boneka, sambil memberikan dialog. Laurent tersenyum melihat tingkah lugu Yousouf yang penuh imajinasi. Sesaat kemudian, Laurent meminta patung itu untuk diletakkan kembali ke tempatnya.

“Yousouf… ingat pesan paman! Kalau kamu besar nanti, jadilah seperti seorang Yusuf! Seorang yang sederhana dan suka menolong sesama. Dia ini adalah pemimpin besar, sehingga anaknya pun seorang pemimpin besar! Kalau kamu sudah punya banyak teman ketika sekolah dibuka nanti, bertemanlah kepada orang yang tak ingin berteman kepadamu. Jadilah pelita di sekolahmu!”

Laurent melihat anggukan lugu Yousouf. Ia mengelus kepalanya sambil memberikan sebotol susu bercampur madu untuk dibawa pulang. Tiba-tiba, terdengar suara ketukan pintu yang kasar dan bertubi-tubi, “tok…tok-tok-tok…tok-tok.”

Yousouf menoleh ke arah suara itu dan berlari menghampiri pintu yang diketuk, diikuti oleh Laurent. Setelah Laurent membuka pintu kayu tersebut, tampaklah seorang wanita bercadar hitam dengan membawa lampu tangan, karena waktu itu sangat gelap tanpa ada pencahayaan lampu. Hanya cahaya bintang dan bulan sabit yang menyinari pelataran biara dan hamparan perkampungan di sudut kota Sidi Bel Abbas.

“Apakah dia nakal hari ini?” Wanita itu langsung bertanya tanpa mengucapkan salam sedikit pun.
“Tidak, dia baik-baik saja… aku membekalinya susu madu di botol itu.” Laurent menjelaskan perilaku Yousouf selama dititipkan di biara Saint Mathieu ini.
“Oh, terima kasih! Bolehkah aku menimba air sumurmu?”
“Silakan…”
Laurent memberikan tangannya kepada Yousouf dan kedua insan itu melakukan salam yang sedikit modern. Tos! Lalu, Laurent melangkah masuk kembali ke biara.

Wanita bercadar itu adalah ibu Yousouf yang sering menitipkan anaknya ke biara ini. Ia menitipkan anaknya karena kondisi perang yang memungkinkan Yousouf dan segenap isi rumahnya terkena serangan artileri. Lebih parah dari itu, tentara ekstremis pembela kaum pemberontak sering melakukan operasi untuk mengambil anak atau sekadar meminta roti, air, hingga membunuh mereka yang membangkang. Laurent pun sampai hafal kebiasaan si ibu setelah menjemput anaknya : mencucikan kaki, tangan, dan kepala Yousouf sebelum pulang.

Ketika suara burung malam berkumandang, Lonceng biara diayun-ayunkan sedangkan di sudut pojok kampung diserukan suara azan. Waktu berdoa pun tiba.
***
Semua biarawan Saint Mathieu berkumpul di kapel tengah. Tidak ada satu pun lampu yang menerangi ruangan kapel, kecuali sinar bulan yang menyeruak masuk melalui celah-celah jendela bermozaik. Keduabelas biarawan berdoa dalam kidung advent yang khidmat untuk menyambut hari raya Natal. Mereka terbagi di dua sisi sayap kapal. Di sisi kanan ada Pascal, Laurent, Fabien, Vincent, Franck, dan Claude. Di sisi kiri ada Robert, Louis, Francesc, Boniface, dan Jean. Kepala biara mereka adalah Bapa Abas Marc yang memimpin jalannya ibadat advent ini. Kidung-kidung disenandungkan dalam paduan suara laki-laki tanpa adanya iringan organ atau alat music apapun. Silencio! Itulah paham ordo dalam berdoa.

Dalam pikirannya, Laurent membayangkan situasi Natal yang pernah ia alami bersama keluarga besarnya, sebelum ia bergabung ke dalam ordo ini. Ia membayangkan hidangan kalkun panggang, sosis merah, anggur, dan siraman minyak zaitun di dalam salad buah dan sayuran.
“Ah, aku sudah berkomitmen dan aku pun harus menjaga komitmen ini!” begitulah suara Laurent dalam hatinya. Ia pun melanjutkan kidung adventnya.

Sekonyong-konyong, terdengar suara gas mobil wagon yang berhenti tepat di depan gerbang biara. Kemudian, suara bantingan pintu mobil pun terdengar kencang dan dilanjutkan dengan suara gedoran pintu gerbang yang kasar dan bertubi-tubi, “Brak-brak-brak-brak!”

Bapa Marc menghentikan kidungnya dan ia berbalik badan ke arah para biarawan. Suara gedoran pintu gerbang makin kencang terdengar.
“Buka pintu!!! Siapapun kamu, buka pintu!!!” itulah suara yang terdengar.
Marc dan para biarawan saling menatap ragu.
“Baiklah saudara-saudaraku… aku akan membuka gerbang. Laurent dan Francesc temani aku ke depan!” Marc mengajak kedua biarawan ini untuk menemaninya.

Mereka berjalan menyusuri lorong yang menghubungkan biara dengan gerbang depan. Suara gedoran semakin kencang terdengar dilengkapi dengan suara gonggong anjing-anjing kampung yang ada di sekitar perkampungan.

“Hei, kau dengar atau tidak? Buka pintu!!!” teriak seseorang yang menggedor pintu.
Marc pun membuka gerbang dan di hadapannya, sekumpulan orang berbaju guerilla, memiliki kumis-janggut yang tebal dan panjang, lengkap dengan sorban dan senjata di tangan mereka. Melihat pemandangan itu, jantung Marc berdegup kencang.

“Ya, ada yang bisa saya bantu?” Marc mencoba menyapanya ramah.
“Aku Jamal! Siapa kamu?” orang itu ingin mengetahui nama orang yang dihadapinya.
“Saya Marc… ada apa kalian menggedor gerbang kami begitu keras? Kami sedang berdoa…”
“Oh… maafkan kelancangan kami! Kami dengar, kalian adalah orang yang pandai mengobati luka tembak… kawanku seperjuangan meregang nyawa dan aku ingin meminta bantuan kalian! Bisakah?”
“Bolehkah saya lihat kondisi kawanmu itu?”
Kawan-kawan Jamal segera mengeluarkan sang korban luka tembak dari dalam mobil wagon yang cukup usang. Marc meminta tolong Laurent dan Francesc untuk mengambil tandu, sedangkan biarawan lain menyiapkan peralatan operasi sederhana dan obat-obatan luar.

“Kami sangat haus! Bolehkah kami mengisi tempat minum kami?” Jamal mengutarakan perasaan dahaganya.
Dengan sebuah isyarat, Marc mempersilakan mereka mengisi botol-botol minum. Salah seorang dari militant ekstremis ini berjalan-jalan di sekitar pelataran biara dan ia pun melihat anjing yang menggeram karena kedatangan mereka. Tiba-tiba, suara rentetan senapan mesin ringan memberondong anjing itu. Matilah anjing penjaga biara dalam waktu sekejap.

“Hei, kenapa anjing kami dibunuh?” Marc mencoba menanyai motif mereka.
“Anjing adalah binatang yang tidak boleh hidup di Sidi Bel Abbas, juga di seluruh Aljazair. Mereka adalah penyebar penyakit! Kalau kalian memelihara anjing, kalian tak ubahnya seonggok penyakit!”
Marc tak ingin berdebat dengan mereka. Ia pun segera masuk ke biara dan meminta sekawanan militant ekstremis ini menunggu di luar.
“Tunggu sebentar, saya dan teman-teman saya akan mengobati kawanmu ini.”
***
“Bapa Marc, posisi kita semakin tidak aman!” Boniface mengutarakan pendapatnya karena kaum ekstremis telah menyatroni kediaman mereka.
“Biarkan saja kita tidak aman… yang penting kita tetap memegang kewajiban kita, apapun yang terjadi!”
“Bapa, orang ini sesungguhnya tidak bisa dipulangkan saat ini! Dia harus diinapkan.” Vincent pun memberikan laporan tentang kondisi si laki-laki militant yang sedang meregang nyawa.

“Biar kukatakan kepada mereka…”

Marc melangkah keluar untuk menanyai para kaum ekstremis ini. Akan tetapi, para kaum ekstremis ini tidak ada di pelataran biara. Marc segera mencarinya di seluruh ujung bangunan biara dan ia pun mendapati mereka sedang berada di dalam kapel yang sesungguhnya suci. Mereka tampak memegang-megang buku doa, salib, dan benda-benda rohani lainnya.

“Emmmm… kawan-kawanku, aku ingin menyampaikan bahwa kawan kalian yang sedang meregang nyawa itu tidak dapat pulang malam ini juga. Dia harus menginap untuk dirawat lebih lanjut.” Marc mencoba membuka pembicaraan.

“Oh, begitu? Tidak! Aku ingin kawanku itu pulang sekarang juga!”

“Tidak bisa… ia mengalami pendarahan yang begitu banyak dan kami akan mengupayakan sumbangan darah dari jaringan rumah sakit di Sidi Bel Abbas.”

“Kalian tidakkah mengerti? Baru saja aku dan kawan-kawanku ini melihat tempat kalian ini. Rupa-rupanya kalian orang-orang barat yang perlahan-lahan ingin menanamkan paham kalian di sini! Aku tahu itu! Jujurlah!”

“Kedatangan kami di sini sudah sejak lama, sebelum pecah perang pemberontakan Nag Abdoullah. Kami ada di sini ketika pemerintah Aljazair meminta bantuan tenaga kesehatan dan kami datang dengan sukarela.”

“Tak perlulah kalian berkilah… kalau kalian orang-orang medis, mengapa kalian beratribut seperti itu?”

“Tolong dengarkan saya dulu…”
“Tidak! Rais, Shuaib, bawa si Medjani keluar… kalau dia harus mati kehabisan darah, biarkan saja! Dan, dengarkan perkataanku… aku memberimu waktu 1 minggu untuk pulang ke negaramu! Kalau tidak, tempat ini sudah kami ratakan.”

Sekelompok militant ekstremis itu memaksa masuk ke ruang perawatan. Mereka menarik paksa kawan mereka yang sedang dijahit dan membawanya kembali masuk ke mobil wagon mereka melalui lorong yang menghubungkan biara dengan gerbang depan. Salah satu dari mereka ada yang menendang patung-patung diorama Natal yang telah tersusun rapi.

Para biarawan pun terpaku memandang peristiwa yang baru saja menimpa mereka.
***

Keesokan paginya, para biarawan kembali berkumpul untuk berdoa dan dilanjut dengan santap pagi. Ketika santap pagi, salah seorang dari biarawan ini membacakan kisah renungan atau refleksi hidup sementara kawan-kawan lainnya menyantap sarapan pagi. Pembaca renungan itu bergilir setiap harinya. Itulah kebiasaan hidup membiara.

Seusai santap pagi, mereka kembali beraktivitas. Vincent, Boniface, dan Jean memerah sapi ternak di belakang biara sedangkan Laurent dan yang lainnya memetik hasil kebun sayuran yang mereka tanam sendiri.

Francesc dan Robert berjaga di klinik pengobatan yang baru saja mereka rapikan setelah insiden semalam. Tiba-tiba, terdengar suara ketokan pintu yang kasar tetapi berpola, “tok, tok-tok-tok, tok-tok.” Robert membukakan pintu dan tampillah wanita bercadar hitam dan di belakangnya ada 7 orang ditandu dan sedang meregang nyawa akibat serangan senjata.

Sang wanita itu membuka dialognya, “tolonglah kami… sahabat-sahabat kami ini butuh berobat.”
Francesc segera membuka gerbang lebar biara dan membiarkan mereka masuk ke ruang perawatan. Francesc dan Robert akhirnya dibantu oleh para biarawan lain untuk mengobati korban-korban perang.
Tampaklah Laurent berbincang-bincang dengan salah seorang laki-laki di pintu gerbang biara.

Satu jam kemudian, para korban berhasil dibalut lukanya dan dibiarkan beristirahat di biara sampai kondisinya cukup pulih untuk kembali berjalan.

“Paman… pamaan… bolehkah aku melihat patung-patung kecil?” Secara tiba-tiba, Yousouf berlari menghampiri Laurent yang sedang berjalan kembali masuk ke biara. Laurent menunjukkan gua Natal dekorasi yang sudah hancur oleh tendangan salah seorang ekstremis tadi malam.

“Mereka sudah pergi…”

Yousouf pun menunjukkan wajah kecewa. Ia kehilangan teman bermain yang semalam diperkenalkan oleh Laurent.
***
Setelah ibadah siang, Laurent, Boniface, Jean, dan Claude menghadap Bapa Marc di ruangannya. Bapa Marc membaca aura wajah mereka yang sedikit berbeda. Sesaat mereka tampak hening tanpa ada suara hingga akhirnya Laurent membuka pembicaraan kepada Bapa Marc.

“Bapa Abas Marc… izinkanlah kami membuka Scapula.” Laurent tampak sedikit terbata-bata ketika mengatakan kalimat itu.

“Kenapa kalian berkata demikian?” Bapa Marc tampak sedikit mengernyitkan dahinya ketika mendengar perkataan Laurent.

“Kami akan angkat senjata… kami juga berhak melindungi diri, setidaknya juga untuk mereka yang dirawat di biara kita ini.”

“Darimana kalian mendapatkan senjata?”

Laurent pun mengeluarkan senjata senapan mesin ringan dari dalam jubahnya beserta magazin-magazin peluru yang penuh dan belum digunakan. Melihat hal itu, Marc hanya menghembuskan nafas panjang sambil memegang dahinya.

“Bagaimana Bapa? Kita semakin terancam! Negeri yang kita diami saat ini sedang vakum penguasa dan ekstremis tadi malam dengan lancang berkata akan mengusir kita. Mereka tak ada kuasa satu pun dan  kita tidak bisa diam, Bapa!”

“Kalau kalian angkat senjata, aku tidak bisa mencurahkan berkat dan doa restuku kepada kalian!”

“???”

“Ketika kalian angkat senjata, maka kasih tak ada lagi di tangan dan perbuatan kalian. Kalian telah menodai janji dan kaul kalian sebagai orang terpilih yang masuk ke ordo ini.”

“apakah sebaiknya kita pulang saja ke Prancis?”                Jean mencoba membuka suara.

“Tidak, anakku… sebaiknya kita mati di sini daripada melanjutkan hidup dengan meninggalkan komitmen kita di sini. Sekarang, kembalikan senjata itu kepada pemiliknya… aku tak mau tahu darimana senjata itu kalian dapatkan!”

“Baiklah, kalau begitu kami permisi dahulu…”
Claude hanya menggeleng-gelengkan kepala setelah keluar dari ruangan Bapa Marc.
***
“Pamaaann… pamaannn… bagaimana aku bisa melihat patung-patung itu lagi?” Yousouf masih mengejar Laurent. Dengan sabar dan ramah, Laurent mengambilkan kertas lalu menggambarinya dengan pensil dan menusuk kertas itu dengan dua batang kayu kecil hingga kertas dapat dipegang dengan gagang kayu.

Gambar itu menggantikan patung-patung Natal yang telah hilang ditendang oleh para ekstremis. Yousouf senang bukan main karena ia masih bisa melihat sosok-sosok dalam diorama yang telah hilang dalam bentuk yang berbeda.

“Simpanlah gambar itu, Yousouf… kalau kau butuh kertas untuk menggambar, cari saja aku… aku akan mengobati paman-paman yang sedang terluka di sana.” Laurent melangkah masuk ke ruangan perawatan sedangkan Yousouf asik memainkan diorama kertas buatan Laurent.

***
Sore harinya, matahari hendak bersembunyi di balik bukit karas di ujung perkampungan. Perlahan tapi pasti, suara lonceng diperdengarkan dan suara azan pun diserukan. Waktu berdoa pun dimulai.

Para biarawan melanjutkan ibadah hari penantian untuk menuju Natal yang tinggal satu hari lagi. Bapa Marc membuka doa dengan memohonkan keselamatan bagi seluruh korban perang di Aljazair, terkhusus lagi di kota Sidi Bel Abbas.

Para biarawan ini berdoa dalam situasi yang tak menentu. Sesekali terdengar suara tangisan wanita atau suara gonggong anjing yang berubah menjadi suara lenguhan lemah. Suara cacian dan nama-nama orang besar dalam agama pun diserukan tanpa mengerti etika penyebutan nama.

Situasi yang cukup rumit untuk negeri ini, mengingat negeri Aljazair adalah negeri yang baru saja merdeka dari Prancis. Dalam kemelut politik ini, tak ada satu orang pun yang menggantungkan cita-cita. Cita-cita mereka untuk hidup lebih baik dibiarkan abu-abu tanpa ada kejelasan warna lain.

Dengan isyarat kedipan mata, Claude memanggil Laurent dan jari telunjuknya menunjukk ke bawah. Laurent bingung akan hal itu, dan akhirnya ia memahami juga. Laurent melihat sebungkus kain putih dan secarik kertas bertuliskan, “kalau aku berteriak, melompatlah dari panti… bawa bungkusan putih ini dan bukalah… kokanglah ketika kita berjalan di lorong… dan lepaskan scapula.”

Laurent membaca tulisan-tulisan kecil yang sedikit kabur itu. Ia pun kemudian membalas dengan anggukan yakin kepada Claude. Jean dan Boniface saling meyakinkan. Salah seorang dari mereka yang sudah cukup berumur tua, yaitu Louis memergoki isyarat yang sedang terjadi. Buru-buru isyarat itu berhenti dengan kompak dan spontan hingga doa pun dilanjutkan.

“Bapa Maha Pemurah, melalui Kristus putra-Mu… selamatkanlah kami…
Karena besar kasih-Mu… selamatkanlah kami…
Karena Kau tak pernah meningglalkan umat-Mu… selamatkanlah kami…
Dalam rahmat penebusanmu… selamatkanlah kami…
Veni, Veni Immanuel… Captivum Solve Meum…
Qui Gemit in Excilio… Privatus Dei Filio

Doa litani mulai dilantunkan dengan jawaban yang dinyanyikan, “selamatkanlah kami…”
Doa itu terus berkumandang dan menghiasi sinar bulan yang perlahan masuk berpendar di celah-celah mozaik jendela biara. Suasana yang begitu sendu dan khidmat, seolah-olah Tangan Tuhan menyapa mereka melalui sinar bulan.

“Gaude… Gaude… Immanuel!”

Cahaya putih mengoyak biara dengan cepat. Kidung Litani mulai dilantunkan dalam hati, seolah-olah mereka telah selesai menyanyikannya. Para Biarawan pun tak lagi melihat, mendengar, berbicara satu sama lain, dan tak lagi menyanyi. Dalam malam penantian ini, mereka telah mempersembahkan bakti hidup mereka dalam naungan kasih dan kesungguhan hati.

“Telah hadir bagimu, seorang putra penyelamat dunia!”
***
Matahari kembali muncul dari horizon di ufuk timur perbukitan kota Sidi Bel Abbas. Suara burung mencicit-cicit mencari makan dan tiba-tiba diiringi suara burung pemakan bangkai yang entah datang dari mana. Embun tak lagi bersisa karena cuaca angina kering semalam. Sesekali terdengar suara tangisan dari rumah-rumah warga di sekitar biara.

Sekonyong-konyong terdengar suara sumpah serapah keributan yang muncul dari beberapa laki-laki di perkampungan itu. Sepertinya, perkampungan sudut kota Sidi Bel Abbas sedang beraura merah. Suara deru mesin truk dan alat-alat berat perlahan-lahan terdengar dari kejauhan.

Yousouf si bocah sepuluh tahun ini berlari-lari menuju biara hendak mencari Laurent, sang biarawan yang sudah menjadi sahabatnya. Ketika sampai di gerbang biara, Yousouf terpaku melihat pemandangan di depan matanya. Biara itu tinggal reruntuhan.

Yousouf juga melihat tentara sipil Aljazair mengangkut mayat-mayat berjubah putih dengan list hitam. Ia pun segera mengenali mayat-mayat yang sedang diangkut ke dalam bak truk itu. Ia melihat wajah senyum dan kaku seorang Laurent de Jouvet, OCSO, biarawan yang telah menjadi sahabatnya. Kini, ‘paman Laurent’ tak lagi berkisah, memberinya susu madu, dan ia pun dan harus diangkut ke truk dengan paksa.

“Yousouf… segeralah naik ke truk!” teriak ibunya dari dalam truk yang mengangkut para pengungsi.
Yousouf berjalan gontai menuju truk pengungsi perang kemelut politik di negeri yang kaya akan minyak, di Afrika utara ini. Salah seorang laki-laki tua membawa radio bertenaga baterai yang memberitakan kejadian semalam, “serangan artileri terjadi di Sidi Bel Abbas…” Yousouf buru-buru merebut radio itu dari tangan sang laki-laki tua.

“Setidaknya 7 rumah sakit terkena imbasnya. 12 warga Prancis tewas dalam serangan ini. Para pemberontak merilis ultimatum yang disebarkan melalui poster-poster dan selebaran pamflet.”

Tanpa disadari, air mata Yousouf meleleh mengaliri bekas luka di pipinya.
***
“Hei, kau berdiri mematung di sini…” kata Zain, seorang mahasiswa Aljazair yang sedang menimba ilmu di Prancis. Zain melihat temannya yang melamun berkepanjangan sambil menatap diorama Natal dan Pohon Natal besar di depan kathedral Saint Etienne, Prancis.

“Ohh… tidak! Aku terkenang masa kecilku ketika tinggal di Sidi Bel Abbas dulu…” mahasiswa yang melamun itu menimpali pertanyaan Zain. Si pelamun merogoh saku tas nya dan mengambil sebungkus plastik kumal berisikan kertas bergambar diorama Natal yang hampir luntur.

“Dulu ketika aku kecil, ada seorang Prancis yang begitu lembut budinya dan suka memberiku susu madu dalam satu botol. Ia pernah berpesan : ingat pesan paman! Kalau kamu besar nanti, jadilah seperti seorang Yusuf! Seorang yang sederhana dan suka menolong sesama… Kalau kamu sudah punya banyak teman ketika sekolah dibuka nanti, bertemanlah kepada orang yang tak ingin berteman kepadamu. Jadilah pelita di sekolahmu!”

Zain menggeleng-gelengkan kepala sambil membayangkan masa kecil kawannya itu.
“Mungkin ia orang baik yang sudah bahagia di alamnya… mari kita ikut doakan dalam dzikir nanti malam… Yousouf, cuaca semakin dingin dan hampir Maghrib, ayo kita sholat…”



Bandung, 22 Desember 2015 – Dilanjutkan di Jogjakarta, 23-24 Desember 2015
Terinspirasi dari Film “Of Gods and Men” yang berlatar Algeria.  

Sekelumit Informasi
SCAPULA : List jubah biarawan yang disertai tudung kepala (capuccin), pertanda untuk biarawan yang telah memegang kaul dan janji hidup dalam misi.

OCSO : Ordo Cisterciensis Strictiorist Observantiae, atau biasa disebut Trapist, salah satu ordo religius dalam agama Katolik yang bermisi untuk hidup secara monastik, mengupayakan hasil bumi untuk kesejahteraan warga di sekitar biara, merawat orang sakit, dan sebagainya.

Abas : Pemimpin biara.


Litani : pendarasan doa permohonan. 

Komentar