“Nak
bangunlah… Berita itu sungguh terjadi hari ini!”
Gerakan
tangan yang masif dan bertubi-tubi mengguncang wajah seorang anak laki-laki
bernama Uttama. Nyawa yang belum terkumpul penuh serta kelemahan tubuh yang
tidak biasanya menjadi sandangan Uttama untuk pagi ini.
“Cucilah
mukamu, dan ikutlah ayah keluar rumah. Ini tidak biasanya terjadi!”
Uttama
yang masih beraroma pagi buta pun melangkah keluar bersama ayah dan ibunya.
Mereka menyaksikan pagi di ufuk timur dan mereka semua terkejut. Sinar mentari
tak lagi cerah. Pendar-pendarnya begitu kelabu dan cenderung kusam. Tetangga
rumah dan seluruh warga perkampungan juga melihat hal yang sama. Matahari kali
ini terlihat redup, seperti nyala lilin yang bergolak lemah terkena terpaan
angin. Sinarnya tidak tetap. Sesekali ada, sesekali gelap, cepat sekali sinar
lemah itu bermain-main dengan bumi.
Setiap
rumah memiliki televisi, dan setiap televisi pun dalam keadaan menyala. Saluran
yang disiarkan televisi itu semuanya sama; sebuah berita heboh tentang analisis
astronomik terhadap Matahari yang sebentar lagi mati.
“Yah,
bukankah ini adalah gerhana Matahari?” Tanya Uttama kepada ayahnya.
“Bukan,
nak! Ini tidak biasanya terjadi. Sinar Matahari tidak seharusnya abu-abu
begini. Ayah hanya takut satu hal. Bencana besar akan menimpa umat manusia
sebentar lagi.”
Semua
orang di seluruh perkampungan itu terpaku layaknya arca tanpa sikap. Mereka menyaksikan
siaran televisi dengan mulut menganga keheranan. Sesekali terdengar suara
lenguhan para warga dengan menyebut nama Tuhan.
“Ya
Tuhan, sebegitu cepatkah rencanaMu atas umat manusia ini?”
“Ya
Tuhan, apa yang akan Kau kerjakan di hari ini?”
“Ya
Tuhan, kenapa Matahari yang kau ciptakan untuk bermilyar-milyar tahun lamanya
menjadi redup di hari ini?”
Begitulah
pertanyaan yang muncul dan seolah-olah menjadi template pertanyaan di benak setiap orang yang ada di perkampungan
ini.
“Badan
antariksa internasional yang dikoordinasi oleh NASA, memprediksi bahwa Matahari
akan mati dalam waktu 3 jam ke depan. Namun, belum dapat dipastikan bahwa
matinya Matahari hari ini bersifat permanen atau temporer.”
“Rapat
koordinasi negara terintegrasi yang diadakan di Jenewa, Swiss, menyebutkan
bahwa solusi atas fenomena matinya Matahari adalah menciptakan swasembada surya,
dengan lampu neon raksasa teleskopik berdiameter 2 km, dan menggunakan 7500
butir intan sebagai pembias cahaya, serta berfungsi untuk mengubah cahaya neon
menjadi 65% cahaya Matahari.”
“Melalui
PBB, alat ini digratiskan untuk setiap distrik yang ada di masing-masing
negara. Instalasi alat ini dapat dilakukan secara global, mulai tanggal 22 Mei
nanti, atau seminggu dari sekarang.”
Sesekali,
Uttama masuk ke dalam rumah untuk melihat siaran televisi yang rata-rata sama
di setiap stasiun pemancar. Breaking
News! Itulah kata yang tepat untuk siaran massif dan sama di seluruh dunia.
“Jadi
yah, Matahari akan mati?” Uttama bertanya ulang kepada ayahnya yang masih
berada di halaman rumah.
“Ayah
tidak bisa menjawab, nak…! Itu bukan urusan manusia. Matahari adalah teknologi
abadi ciptaan yang ilahi. Hidup-matinya Matahari bukanlah urusan kita.”
“Lalu,
kenapa semua orang bilang bahwa Matahari akan mati?” Keingintahuan Uttama
begitu besar, layaknya bocah berusia 12 tahun pada umumnya.
“Manusia
hanya bisa memprediksi, nak…” Sang ayah hanya menjawab alakadarnya.
Blaaarrrr, Zlouuuuusssssshhhh!
Tiba-tiba,
ada suara ledakan hypersonic disertai
angin badai yang menyapu permukaan bumi. Perkampungan tempat tinggal Bapak
Sudhodana, ayah dari Uttama dan Suami dari Maya ini terkena sapuan angin yang
begitu kencang. Hempasan angin menyebabkan seluruh kaca dan pagar di kampung
ini pecah serta roboh. Namun, sapuan badai itu hanya terjadi dalam waktu
beberapa detik saja.
Setelah
badai, ada suara bising yang memekakkan telinga dari atas langit. Mendengar
suara itu, seluruh warga di kampung tersebut keluar dan melihat langit sambil
menutup telinga. Beberapa di antara mereka, wajahnya tampak berdarah karena
pecahan kaca jendela yang menembus kulit.
Matahari yang biasa menerangi mereka kini perlahan menuju kematiannya.
Bola Matahari itu seperti dimakan bayangan hitam berbentuk tangan, hingga
akhirnya Matahari tak tampak sama sekali. Bayangan gelap menyelimuti bumi
perlahan-lahan. Seperti seorang ibu yang menyelimuti anaknya saat menjelang
tidur, bayangan gelap itu menudungi bumi hingga hitam sama sekali.
“Matahari
Mati!” Seluruh warga berteriak demikian sambil masuk kembali ke rumahnya,
memukul-mukul dada serta kepala, dan mengambil beberapa lampu baterai darurat.
“Ayah,
Matahari sudah mati!” Uttama hanya mengucapkan kalimat ini secara datar. Tanpa
disadari, air mata Uttama meleleh melintasi kedua pipi tembamnya.
15 Tahun Kemudian
Kini,
Uttama berusia 27 tahun dan sudah menjadi pemuda kelas pekerja pada sebuah
perusahaan swasta produsen lampu neon. Memiliki pasangan hidup dan berkeluarga
pun belum dilakukan oleh Uttama. Uttama memilih bekerja di sektor ini karena ia
beranggapan bahwa inilah sektor yang pantas dan sedang dibutuhkan manusia dalam
keadaan matinya Matahari ini.
Sehari-hari,
Uttama berangkat kerja pada saat gelap dan kembali pulang pada hari yang juga
gelap. Hanya terang lampu neon semi ultraviolet yang menyinari setiap sudut
kota. Di pojok distrik kota, terdapat lampu neon berdiameter 2km yang menyala
pada saat jam pagi hingga sore. Selebihnya, lampu neon ini mati mulai pukul
18.00.
Siang di
bumi hanya mengandalkan cahaya lampu neon raksasa, dan di setiap negara, semua
sama. Negara Eslandia yang dulunya hanya melihat matahari selama 3 jam saja,
kini dapat melihat lampu neon raksasa selama 12 jam.
Cahaya
lampu neon tak mampu mengalahkan cahaya Matahari. Buatan manusia masih tidak
dapat menyaingi buatan yang Ilahi, dan itu sudah jelas. Apa mau dikata? Kiamat
belumlah datang, tetapi kegelapan sudah menjadi hal yang wajar di muka bumi.
Sesampainya
di tempat kerja, Uttama membuka perangkat surat elektronik di komputernya dan
mendapati sebuah notifikasi rapat pertemuan yang akan dihelat seusai jam makan
siang nanti.
Ia
membalas notifikasi itu dengan respon : hadir.
“Bahan
baku kimia Neon serta halogen naik 25%, dan penambangan zat tersebut di negara
kita sudah langka. Negara kita memiliki kebijakan mengimpor neon dan halogen
dengan harga yang tak lagi murah, otomatis perusahaan kita yang vital ini harus
melakukan penghematan-penghematan. Bagaimana menurutmu, Uttama?” Sang pimpinan
direksi menanyai Uttama, pemuda yang dianggap misterius selama bekerja di
kantor ini.
“Penghematan
memang perlu dilakukan, pak! Tetapi kita jangan lagi tergantung pada alat. Saya
ingin presentasi hasil penelitian saya dengan beberapa ilmuwan.”
“Silakan.”
Butuh
waktu beberapa menit bagi Uttama untuk menyambungkan ic-chip memory yang
ditanam di dalam tangannya, kemudian memproyeksikannya sebagai layar virtual.
“Sebagai
manusia, kita harus memancarkan cahaya sendiri. Saya dan beberapa rekan ilmuwan
telah mencoba menemukan formula baru, yaitu menjadikan neon dan halogen sebagai
konsentrat yang harus kita konsumsi ke dalam tubuh. Selebihnya, konsentrat itu
dapat berkembang dengan makanan yang kita makan sehari-hari!”
Para
pimpinan dan direksi sedikit mengernyitkan dahi karena masih bingung dengan
penjelasan Uttama. Uttama pun melanjutkan presentasinya ke slide selanjutnya.
“Seperti
halnya Angler Fish di dasar laut, ia
dapat menerangi sekitar dengan lampu yang menggantung di kepalanya. Lampu itu
memiliki cahaya neon, sekalipun isi dari lampu tersebut hanyalah sel phosphor.
Beberapa tanaman laut di dasar yang terdalam juga menimba bias cahaya siang,
dan menerangi sekitar dengan ganggang neon. Kekayaan makhluk laut inilah yang
sepertinya bisa kita aplikasikan di daratan.”
Berbagai
pertanyaan dan keingintahuan pun terjadi.
“Sebentar!
Sebentar! Itu berarti kita menjadi lampu untuk kita dan sekitar?”
“Betul
pak?”
“Bagaimana
dengan tanaman yang selama ini memakai produk lampu fotosintesis yang ditempel
di setiap dahan?”
“Dengan
memasukkan inti neon dan halogen tersebut ke dalam tunas muda, nantinya akan
menjadi dahan cahaya yang mampu menjadikan terang pada saat siang dan akan mati
ketika pukul 18.00.”
“Ah…
kamu ini menghayal?”
“Tidak
pak, saya sudah melakukan experiment sebelumnya…”
Kepala
ilmuwan perusahaan ini pun menjadi gemas dengan penjelasan Uttama, dan ia pun
merasa tersaingi.
“Kamu
yakin dengan ini?”
“Seratus
persen yakin, bahkan 1000 persen mungkin.”
“Dengan
siapa kamu melakukan experiment ini sebelumnya?”
“Saya
dan berbagai aliansi ilmuwan cahaya dari berbagai perusahaan, pak!”
“Kapan
kamu melakukan ini?”
Sejenak,
seisi ruangan terdiam dengan pertanyaan direksi ketiga ini, serta kepala
ilmuwan yang memberondong Uttama dengan berbagai pertanyaan.
“Emmmm…
saya melakukan experiment ini sepulang kerja saat 1 bulan yang lalu.”
“Kenapa
kamu tidak memanfaatkan para ilmuwan yang ada di perusahaan kita, jika kamu
memiliki gagasan itu?”
Uttama,
seorang project manager yang diberondong pertanyaan ini mendadak pucat karena
pertanyaan terakhir. Dalam etika perusahaan, seseorang dilarang melakukan
pekerjaan lain di luar. Kini, pertanyaan itu muncul, dan dengan bodoh atau
kurang halus saja – Uttama melakukan presentasi yang sesungguhnya solutif ini. Meskipun
demikian, Uttama mencoba memutar lidah untuk penjelasan selanjutnya.
“Sesungguhnya,
saya justru ingin mencuri ilmu mereka untuk perusahaan kita.”
“Hmmmhh,
yang benar saja kalau bicara…”
“Benar,
pak… sungguh…”
Sesaat
kemudian, direksi pertama membuka sebuah laman absensi yang diproyeksikan ke
layar virtual. Terekam foto wajah Uttama beserta data statistic absensinya.
“Hahahaha…
sudah izin tidak masuk kerja selama 19 kali dalam 2 bulan terakhir… dan kamu
mencoba sok pintar dengan gagasanmu? Masih mending kamu belum dipecat. Selain
itu, kamu mencoba berkelit di zaman serba informatif ini? Mustahil…”
“…”
Uttama
terdiam dan tak lagi menjawab. Kini, ia harus berhadapan dengan
keputusan-keputusan konservatif yang mengatasnamakan kedisiplinan. Uttama
memang bukan yang utama dalam hal kedisiplinan kerja. Ya, banyak orang
mengatakan bahwa ia adalah sosok misterius yang cenderung malas jika di kantor.
“Jika
saya boleh megutarakan sesuatu...”
“Ya…
apa?” Jelaskan cepat!”
“Saya
masih bersahabat dengan teman-teman saya ketika kuliah dulu, dan saya masih
sering ber-experiment dengan mereka. Kini saya akan menawarkan solusi
tersebut…”
Belum
selesai bicara, pimpinan ilmuwan di perusahaan ini mendadak memotong kalimat
Uttama.
“Saudara
Uttama, experimentmu itu pasti berbudget rendah bukan? Swasembada? Hmmm… Neon
dan Halogen adalah toxin berat jika dimasukkan ke dalam tubuh. Lalu, kamu akan
mencoba melawan kodrat sebagai manusia?”
“Saya
belum selesai bicara, pak..”
“Tak
perlu lah kau selesai bicara…”
Dengan
muka masam, Uttama melangkah keluar ruangan tanpa harus membanting pintu
ruangan.Para peserta rapat hanya melihat tanpa mengucapkan sepatah kata atau
ungkapan.
“Sebaiknya
kita pecat saja dia!”
“Jangan!
Biarpun dia terlihat malas… Dia masih tetap memantau pekerjaan dari rumah atau
dari manapun dia berada. Coba kita beri kesempatan 1 minggu lagi.”
Satu Tahun Selanjutnya
“Project
yang ada di perusahaan ini terbengkalai. Permintaan melonjak, tetapi pesaing
telah banyak berdatangan dan lampu yang mereka jual lebih bervariatif.” Direksi
utama mengeluh terhadap laporan marketing yang diberikan oleh Direktur
Komersial.
“Saya
jadi teringat lagi kepada Uttama, seorang yang kita pecat setahun lalu.”
Ternyata
memang benar. Uttama dipecat oleh karena perdebatan yang terjadi setahun lalu
ketika rapat. Uttama tidak melawan, sebab ia memiliki rencana lain terhadap
dunia perlampuan.
Di Rumah Sudhodana
“Sudah
setahun ini anak kita tidak pernah pulang!” Sudhodana mengeluh demikian kepada
istrinya.
“Justru,
sudah semestinya anak seusia dia berpisah dari orang tuanya, Kanda… Seharusnya
dia sudah memiliki istri, berkeluarga, dan memberikan kita seorang cucu.”
Istrinya, Putri Maya, mencoba memberi penjelasan yang mungkin bisa memberikan
penghiburan.
“Aku
khawatir akan dia. Dia itu sedikit keras kepala dan sering tidak percaya pada
orang lain. Dia sering berjalan seturut kehendaknya.”
“Bukan
begitu, suamiku… Dia sedang mencari cahaya... di tengah kematian Matahari yang
mungkin membuatnya terusik.”
Bhumisparça Mudra
Jauh di
sebuah hutan yang terpencil, Uttama duduk bersila. Dia membuat pencahayaan
dengan api yang ditudungi oleh kap kaca berintan, sehingga cahaya yang muncul
seperti lampu neon pada umumnya. Di tempat inilah, di bawah pohon rindang,
Uttama membuka ruang kepada yang Ilahi untuk berbicara dari hati ke hati.
“Sesungguhnya
ya Tuhan… mengapa Kau matikan Matahari yang masih dibutuhkan dunia?”
Pertanyaan
itu diulang-ulang terus dalam sikap heningnya. Meskipun bagi orang modern,
kegiatan Uttama itu hanya membuang waktu. Bagi Uttama, ini adalah satu-satunya
jalan. Di tengah penjara teknologi buatan manusia yang mengurung rasa empati,
Uttama ingin berkomunikasi dengan Tuhan.
“Sesungguhnya
ya Tuhan… mengapa Kau ciptakan Matahari?”
Sesekali,
Uttama berjalan ke perkampungan di dekat hutan tersebut untuk meminta makan. Ia
yang tadinya bekerja dan berkecukupan, kini harus memohon belas kasihan orang
lain. Di tengah perkampungan yang disinari lampu neon raksasa berdiameter 2 km
tersebut, Uttama berupaya untuk mengenali perasaan manusia.
“Aku
merasa kasihan kepada anak-anak kecil yang terlahir tanpa sempat menikmati
sinar Matahari yang sesungguhnya. Mereka hanya tahu sinar lampu neon buatan manusia."
“Ah, ini
saatnya aku beranjak… Sepertinya Tuhan tak mau berbicara denganku…Matahari mati
dan aku terlalu visioner untuk menciptakan cahaya baru.”
Uttama
pun berjalan meninggalkan hutan terpencil melewati perkampungan tempat ia
meminta makan. Ia hendak mencari tempat lain dan mungkin beberapa guru
spiritual yang bisa diajak diskusi.
Abhaya Mudra
Matinya
Matahari membuat manusia haus akan kebijaksanaan. Manusia terkurung dalam nafsu
dan keinginan untuk mengeksploitasi bumi secara berlebihan. Ditambah lagi,
Manusia harus menciptakan cahaya buatan yang sesungguhnya tidak menjadikan
siang lebih baik dari zaman Matahari.
“28
tahun Matahari telah mati…”
Uttama
berjalan menuju sebuah taman di dekat perkampungan sisi utara negara ini. Di
tengah-tengah perjalanannya, Uttama melihat sebuah tayangan di videotron yang
menyajikan berita mengenai matinya lampu neon di desa selatan. Matinya lampu
ini membuat masyarakat panik dan terpaksa menggunakan lampu neon pribadi untuk
pencahayaan di setiap rumah.
Belum
lagi, berita tersebut dilanjutkan dengan berita mengenai perempuan yang
diperkosa ramai-ramai oleh 12 pemuda, hingga perempuan tersebut mati. Pemerkosaan itu dilakukan karena kegelapan yang memungkinkan perbuatan keji menjadi tersembunyi. Uttama
terpaku menyaksikan videotron tersebut dengan perasaan yang campur aduk.
Ramai
sekali beritanya, hingga bahkan berita mengenai kerusakan pulau Sophia, pulau
penyedia sumber daya kimia bahan baku lampu neon dan halogen ini meledak oleh
karena dikuras habis. Meledaknya pulau ini menyebabkan gelombang besar yang
menyapu pantai selatan negara.
“Tuhan,
tuanku yang Ilahi… Apakah aku bisa meminta kepadaMu, Tolong nyalakan Matahari
kami!”
Di dalam
kegelapan yang teramat sangat, manusia kembali berlaku tanpa akal. Syahwat dan
apatisme menghiasi perwatakan masa kini. Guru-guru spiritual tak lagi murni
mengajarkan kebijaksanaan, melainkan hanya mengejar popularitas semata sebagai,
“pelopor pencipta cahaya Matahari yang sesungguhnya.” Namun apa mau dikata?
Bukan cahaya Matahari yang nampak diupayakan, melainkan uang yang dikeruk oleh
guru-guru spiritual ini begitu besar jumlahnya.
Uttama
melihat gawai elektroniknya dan ia melihat sebuah pesan dari teman kuliahnya
dulu.
“Coba
kau temui Walikilia, seorang pertapa yang duduk di daun teratai di danau
kedamaian.”
Setelah
berjalan selama tiga hari tiga malam, Uttama menemukan Walikilia yang sedang
terduduk di daun teratai.
Dhyana Mudra
“Selamat
datang anakku… kau kah yang bernama Uttama?”
Walikilia
menyapa Uttama dengan ramah.
“Bagaimana paduka bisa mengetahui namaku?”
“Perasaan
begitu kuat, dan temanmu mengabarkan kepadaku tentang kehadiranmu saat ini.”
“Oh…
iya, terima kasih… bolehkah aku beristirahat sejenak?”
“Silakan,
nak… minumlah air di bawah teratai ini yang masih ada sedikit rasa Matahari.”
Sejenak
Uttama tertegun dengan pernyataan Walikilia. Kemudian, Uttama tidur satu jam
lamanya, sembari Walikilia tetap duduk di atas daun teratai.
Setelah
bangun, Uttama memulai mengajak bicara Walikilia untuk membuka diskusi mengenai
‘bagaimana membuat cahaya Matahari yang baru.’ Mereka berdiskusi sambil memakan
buah-buahan tropis yag mustahil ada di masa matinya Matahari ini. Kesaktian dan
kemurnian hati Walikilia membuahkan hal yang sederhana, namun dibutuhkan
manusia. Buah-buahan tropis yang ranum ini adalah hasilnya.
“Uttama
anakku, kau ingin berdiskusi apa?”
“Guru…
kalau andalah yang bisa menghadirkan sepersekian persen dari Cahaya Matahari,
mengapakah kau tak tampil ke dunia, dan membuat instalasi Cahaya Matahari di
sudut-sudut kota? Niscaya kau akan dicintai umat manusia yang haus akan
kebijaksanaan.”
“Anakku,
ketika Matahari masih ada dulu, aku selalu menangkap sinarnya dalam batin dan
dalam kotak kaca ini. Aku tahu bahwa saatnya akan tiba. Matahari ini memiliki
umur.”
“Mengapakah kau hanya diam saja dan tak bersua dengan manusia sekitar?”
“Hmmm…
Uttama anakku, kalau aku bersua dengan manusia luar, yang ada aku hanya akan
diperebutkan oleh dunia materi. Aku berminat menghadirkan cahaya Matahari kepada
mereka, tetapi Tuhan mengisyaratkan bahwa aku bukanlah orang yang tepat.
Buktinya, kakiku selalu terkunci di daun teratai ini.”
“Guru,
siapakah orang yang tepat? Kalau ada, aku akan mencarinya.”
“Aku
belum tahu. Keterbatasanku muncul untuk mencari tahu lebih lanjut.”
“Jika
demikian, bolehkah aku belajar kepada kau, bagaimana cara mencipta cahaya yang
setidaknya mirip dengan cahaya Matahari?”
“Hendak
kau apakan? Jual kah? Untuk dirimu sendiri kah?”
“Tidak…
aku hanya ingin membagikannya kepada mereka yang masih terkurung dalam lingkaran syahwat
dan apatisme.”
“Kau
siap? Aku tahu salah satu ilmunya. Akan tetapi, tanggung jawabnya sangat besar
terhadap cahaya Matahari, meskipun sedikit intensitasnya.”
“Aku
akan mencoba sekuat tenaga, guru…”
“Baiklah,
esok pagi kita mulai… janganlah kau makan apa-apa mulai dari sekarang.”
Jnǡna Mudra
Kedua
insan pencari kebijaksanaan tersebut duduk bersila dalam keremang-remangan dengan sedikit cahaya
neon di dalam bunga teratai. Meskipun demikian, cahaya neon tersebut tampak
seperti cahaya Matahari pagi yang berpendar di celah-celah kelopak bunga Teratai. Uttama
memulai duduk sila dan Walikilia ada di hadapannya.
“Uttama,
anakku! Kau akan merasa sakit yang teramat sangat saat kuberikan ilmu ruwat
surya ini, sakit itu muncul bukan dariku, melainkan dari perasaanmu sendiri…
apa kau berani untuk tahan?” Walikilia memulai sesi pagi ini dengan sebuah
peringatan dan beberapa syarat.
“Aku
harus mencobanya.”
“Kau akan
dijatuhi banyak pertanyaan dan kau harus menjawabnya dengan hati…”
“Aku
siap melaksanakannya.”
“Atur
nafasmu, nak… Ketika kau berhasil melalui segala test ini, kau akan
kutinggalkan. Kau akan mampu duduk di atas bunga Teratai, bukan daun Teratai.
Kau sendirilah yang menentukan berhasil atau tidaknya ujianmu ini.”
Mereka
pun mulai mengatur nafas dan sikap, memejamkan mata, dan memulai sesi ini.
Terang
Pertanyaan
: “Siapakah kamu dan apa yang akan kau berikan bagi dunia ini?”
Jawaban
: “Aku adalah Uttama, dan aku hanya ingin memberikan suara terbaik yang berasal
dari kebaikan hatiku sebagai manusia.”
Sebuah
bor besar menembus bahu Uttama dengan mata bor yang bersuhu amat panas. Uttama tampak
berkeringat menahan rasa sakit yang muncul dari sayatan bor panas di bahunya.
Pertanyaan
: “Mengapa kau ingin Matahari kembali hidup?”
Jawaban
: “Karena bagiku, hanya Matahari lah yang dapat memberikan terang yang sejati
dan universal bagi seluruh dunia.”
Tiba-tiba, setetes
besi cair yang panas menembus telinga Uttama. Uttama tampak bergidik, meringis,
dan air matanya meleleh membasahi pipinya. Siksaan ini belumlah selesai.
Pertanyaan
: “Akuilah, siapakah kau dan apa yang kurang dari dirimu?”
Jawaban
: “Akulah Uttama, dan aku adalah orang egois yang hanya menurut kehendak hatiku
saja.”
Sebuah
cambuk berduri yang tajam dan membara panas menyabet punggung Uttama. Ia
merasakan sakit yang tak mungkin dirasakan oleh manusia, dan menyebabkan mulut Uttama yang terkunci
kini terbuka sambil menahan rasa asin darah yang mengalir.
Pertanyaan
: “Ketika kau berhasil anakku, apakah kamu mau jika kamu harus mati lebih cepat?”
Jawaban
: “Aku tak masalah dengan itu, ketika aku harus mati sekarang, matilah
sekarang.”
Sakit itu
terus berlanjut dan terus menyiksa. Tak ayal, Uttama yang masih manusia ini
berkehendak untuk mengambil segelas air di sampingnya. Namun tangannya
terpental dan tubuhnya kembali seperti sikap sediakala.
“Ohhh…
Aku harus kuat, aku harus kuat!”
Pertanyaan
: “Ini adalah pertanyaan final! Jika jawabanmu itu berasal dari hatimu sendiri,
maka kamu akan berhasil mendapatkan ilmu ruwat surya ini. Maka, bagimu
sendirilah kau harus berani untuk siap. Menurutmu, apakah Cahaya itu? Jabarkanlah!”
Dalam waktu sejenak, suasana menjadi hening dan terjadi badai lokal yang menerpa tempat Uttama menimba ilmu dengan
siksaan ini. Ketika dirasa siap, Uttama mulai memberikan jawabannya.
Jawaban
: Cahaya adalah Terang. Terang adalah sebuah ketenangan batin. Ketika lampu
neon di rumah ayah saya menyala, maka batin penghuninya akan tenang. Ketika cahaya
Matahari terpancar, maka seluruh makhluk di dunia ini akan tenang seperti
dahulu. Cahaya Matahari, cahaya batin seluruh makhluk di dunia.”
Sebuah
kilat listrik bertegangan tinggi menyambar tubuh Uttama. Uttama terpental jauh
dari tempat bertapanya. Sejenak, ia merasakan batas kemanusiaannya muncul. Sekarang, ia sungguh tak
tahan merasakan siksaan yang teramat sangat, lapar, haus, dan sakit.
Perlahan-lahan, Uttama membuka kedua matanya.
“Guru?”
Uttama mencari Walikilia yang sedari tadi dianggap ada bersamanya.
Mata
Uttama terasa silau dan tersengat oleh sebuah cahaya panas dari tangannya.
Tangannya tampak bersinar terang, dan itulah sinar ultraviolet.
Ia
melihat-lihat lagi di sekelilingnya dan ia baru menyadari bahwa ia duduk di
bunga Teratai!
Siapakah
Walikilia tadi? Sesungguhnya, Walikilia adalah batinnya sendiri.
17 November, Dharmacakra Mudra
“Di
belahan timur dunia, telah terjadi sebuah keajaiban. Ini adalah karya Tuhan
yang nyata! Pasalnya, negara-negara di belahan timur dunia ini telah mematikan
instalasi lampu neon yang dipasang di tiap-tiap distrik. Seorang berjubah
kuning menengadahkan tangannya ke udara, dan tampaklah bahwa Matahari yang
sudah bertahun-tahun mati ini menampakkan sinarnya perlahan-lahan.”
“Badan
antariksa internasional yang dikoordinasi oleh NASA kini memberikan pernyataan
yang mengejutkan. NASA memprediksi bahwa sinar ultraviolet masih ada dan dapat
dimunculkan kembali dengan sikap yang suci.”
"Saya melihatnya sendiri dengan mata kepala sendiri. Ketika saya dan kameraman hendak masuk ke dalam tempat orang itu mengeluarkan sinar, buru-buru penduduk sekitar melarang kami. Sungguh, kami tidak bermain-main dengan berita ini."
"Saya melihatnya sendiri dengan mata kepala sendiri. Ketika saya dan kameraman hendak masuk ke dalam tempat orang itu mengeluarkan sinar, buru-buru penduduk sekitar melarang kami. Sungguh, kami tidak bermain-main dengan berita ini."
Di rumah Sudhodana, televisi menyala dan dalam waktu sekejap Sudhodana beserta istrinya merasa heboh dengan siaran tv saat ini.
“Bu, itu anak kita! Itu anak kita yang tak kunjung pulang! Uttama!” Bapak Sudhodana pun heboh berteriak menunjuk-nunjuk acara berita di layar televisi rumahnya.”
“Bu, itu anak kita! Itu anak kita yang tak kunjung pulang! Uttama!” Bapak Sudhodana pun heboh berteriak menunjuk-nunjuk acara berita di layar televisi rumahnya.”
Di
puncak gunung keutamaan, Uttama menengadahkan tangan dan meruwat Matahari yang
telah bertahun-tahun mati.
Bogor, 21 – 22 Mei 2016
Hari Raya Waisak.
Doubt everything, and chase your finest Light.
Semoga semua makhluk berbahagia… Sadhu, Sadhu, Sadhu.
Komentar
Posting Komentar