Amentari (Unsolar)


“Nak bangunlah… Berita itu sungguh terjadi hari ini!”

Gerakan tangan yang masif dan bertubi-tubi mengguncang wajah seorang anak laki-laki bernama Uttama. Nyawa yang belum terkumpul penuh serta kelemahan tubuh yang tidak biasanya menjadi sandangan Uttama untuk pagi ini.

“Cucilah mukamu, dan ikutlah ayah keluar rumah. Ini tidak biasanya terjadi!”

Uttama yang masih beraroma pagi buta pun melangkah keluar bersama ayah dan ibunya. Mereka menyaksikan pagi di ufuk timur dan mereka semua terkejut. Sinar mentari tak lagi cerah. Pendar-pendarnya begitu kelabu dan cenderung kusam. Tetangga rumah dan seluruh warga perkampungan juga melihat hal yang sama. Matahari kali ini terlihat redup, seperti nyala lilin yang bergolak lemah terkena terpaan angin. Sinarnya tidak tetap. Sesekali ada, sesekali gelap, cepat sekali sinar lemah itu bermain-main dengan bumi.

Setiap rumah memiliki televisi, dan setiap televisi pun dalam keadaan menyala. Saluran yang disiarkan televisi itu semuanya sama; sebuah berita heboh tentang analisis astronomik terhadap Matahari yang sebentar lagi mati.

“Yah, bukankah ini adalah gerhana Matahari?” Tanya Uttama kepada ayahnya.

“Bukan, nak! Ini tidak biasanya terjadi. Sinar Matahari tidak seharusnya abu-abu begini. Ayah hanya takut satu hal. Bencana besar akan menimpa umat manusia sebentar lagi.”

Semua orang di seluruh perkampungan itu terpaku layaknya arca tanpa sikap. Mereka menyaksikan siaran televisi dengan mulut menganga keheranan. Sesekali terdengar suara lenguhan para warga dengan menyebut nama Tuhan.

“Ya Tuhan, sebegitu cepatkah rencanaMu atas umat manusia ini?”
“Ya Tuhan, apa yang akan Kau kerjakan di hari ini?”
“Ya Tuhan, kenapa Matahari yang kau ciptakan untuk bermilyar-milyar tahun lamanya menjadi redup di hari ini?”

Begitulah pertanyaan yang muncul dan seolah-olah menjadi template pertanyaan di benak setiap orang yang ada di perkampungan ini.

“Badan antariksa internasional yang dikoordinasi oleh NASA, memprediksi bahwa Matahari akan mati dalam waktu 3 jam ke depan. Namun, belum dapat dipastikan bahwa matinya Matahari hari ini bersifat permanen atau temporer.”

“Rapat koordinasi negara terintegrasi yang diadakan di Jenewa, Swiss, menyebutkan bahwa solusi atas fenomena matinya Matahari adalah menciptakan swasembada surya, dengan lampu neon raksasa teleskopik berdiameter 2 km, dan menggunakan 7500 butir intan sebagai pembias cahaya, serta berfungsi untuk mengubah cahaya neon menjadi 65% cahaya Matahari.”

“Melalui PBB, alat ini digratiskan untuk setiap distrik yang ada di masing-masing negara. Instalasi alat ini dapat dilakukan secara global, mulai tanggal 22 Mei nanti, atau seminggu dari sekarang.”

Sesekali, Uttama masuk ke dalam rumah untuk melihat siaran televisi yang rata-rata sama di setiap stasiun pemancar. Breaking News! Itulah kata yang tepat untuk siaran massif dan sama di seluruh dunia.

“Jadi yah, Matahari akan mati?” Uttama bertanya ulang kepada ayahnya yang masih berada di halaman rumah.

“Ayah tidak bisa menjawab, nak…! Itu bukan urusan manusia. Matahari adalah teknologi abadi ciptaan yang ilahi. Hidup-matinya Matahari bukanlah urusan kita.”

“Lalu, kenapa semua orang bilang bahwa Matahari akan mati?” Keingintahuan Uttama begitu besar, layaknya bocah berusia 12 tahun pada umumnya.

“Manusia hanya bisa memprediksi, nak…” Sang ayah hanya menjawab alakadarnya.

Blaaarrrr, Zlouuuuusssssshhhh!
Tiba-tiba, ada suara ledakan hypersonic disertai angin badai yang menyapu permukaan bumi. Perkampungan tempat tinggal Bapak Sudhodana, ayah dari Uttama dan Suami dari Maya ini terkena sapuan angin yang begitu kencang. Hempasan angin menyebabkan seluruh kaca dan pagar di kampung ini pecah serta roboh. Namun, sapuan badai itu hanya terjadi dalam waktu beberapa detik saja.

Setelah badai, ada suara bising yang memekakkan telinga dari atas langit. Mendengar suara itu, seluruh warga di kampung tersebut keluar dan melihat langit sambil menutup telinga. Beberapa di antara mereka, wajahnya tampak berdarah karena pecahan kaca jendela yang menembus kulit.  Matahari yang biasa menerangi mereka kini perlahan menuju kematiannya. Bola Matahari itu seperti dimakan bayangan hitam berbentuk tangan, hingga akhirnya Matahari tak tampak sama sekali. Bayangan gelap menyelimuti bumi perlahan-lahan. Seperti seorang ibu yang menyelimuti anaknya saat menjelang tidur, bayangan gelap itu menudungi bumi hingga hitam sama sekali.

“Matahari Mati!” Seluruh warga berteriak demikian sambil masuk kembali ke rumahnya, memukul-mukul dada serta kepala, dan mengambil beberapa lampu baterai darurat.

“Ayah, Matahari sudah mati!” Uttama hanya mengucapkan kalimat ini secara datar. Tanpa disadari, air mata Uttama meleleh melintasi kedua pipi tembamnya.

15 Tahun Kemudian
Kini, Uttama berusia 27 tahun dan sudah menjadi pemuda kelas pekerja pada sebuah perusahaan swasta produsen lampu neon. Memiliki pasangan hidup dan berkeluarga pun belum dilakukan oleh Uttama. Uttama memilih bekerja di sektor ini karena ia beranggapan bahwa inilah sektor yang pantas dan sedang dibutuhkan manusia dalam keadaan matinya Matahari ini.

Sehari-hari, Uttama berangkat kerja pada saat gelap dan kembali pulang pada hari yang juga gelap. Hanya terang lampu neon semi ultraviolet yang menyinari setiap sudut kota. Di pojok distrik kota, terdapat lampu neon berdiameter 2km yang menyala pada saat jam pagi hingga sore. Selebihnya, lampu neon ini mati mulai pukul 18.00.

Siang di bumi hanya mengandalkan cahaya lampu neon raksasa, dan di setiap negara, semua sama. Negara Eslandia yang dulunya hanya melihat matahari selama 3 jam saja, kini dapat melihat lampu neon raksasa selama 12 jam.

Cahaya lampu neon tak mampu mengalahkan cahaya Matahari. Buatan manusia masih tidak dapat menyaingi buatan yang Ilahi, dan itu sudah jelas. Apa mau dikata? Kiamat belumlah datang, tetapi kegelapan sudah menjadi hal yang wajar di muka bumi.

Sesampainya di tempat kerja, Uttama membuka perangkat surat elektronik di komputernya dan mendapati sebuah notifikasi rapat pertemuan yang akan dihelat seusai jam makan siang nanti.
Ia membalas notifikasi itu dengan respon : hadir.

“Bahan baku kimia Neon serta halogen naik 25%, dan penambangan zat tersebut di negara kita sudah langka. Negara kita memiliki kebijakan mengimpor neon dan halogen dengan harga yang tak lagi murah, otomatis perusahaan kita yang vital ini harus melakukan penghematan-penghematan. Bagaimana menurutmu, Uttama?” Sang pimpinan direksi menanyai Uttama, pemuda yang dianggap misterius selama bekerja di kantor ini.

“Penghematan memang perlu dilakukan, pak! Tetapi kita jangan lagi tergantung pada alat. Saya ingin presentasi hasil penelitian saya dengan beberapa ilmuwan.”

“Silakan.”

Butuh waktu beberapa menit bagi Uttama untuk menyambungkan ic-chip memory yang ditanam di dalam tangannya, kemudian memproyeksikannya sebagai layar virtual.

“Sebagai manusia, kita harus memancarkan cahaya sendiri. Saya dan beberapa rekan ilmuwan telah mencoba menemukan formula baru, yaitu menjadikan neon dan halogen sebagai konsentrat yang harus kita konsumsi ke dalam tubuh. Selebihnya, konsentrat itu dapat berkembang dengan makanan yang kita makan sehari-hari!”

Para pimpinan dan direksi sedikit mengernyitkan dahi karena masih bingung dengan penjelasan Uttama. Uttama pun melanjutkan presentasinya ke slide selanjutnya.

“Seperti halnya Angler Fish di dasar laut, ia dapat menerangi sekitar dengan lampu yang menggantung di kepalanya. Lampu itu memiliki cahaya neon, sekalipun isi dari lampu tersebut hanyalah sel phosphor. Beberapa tanaman laut di dasar yang terdalam juga menimba bias cahaya siang, dan menerangi sekitar dengan ganggang neon. Kekayaan makhluk laut inilah yang sepertinya bisa kita aplikasikan di daratan.”

Berbagai pertanyaan dan keingintahuan pun terjadi.

“Sebentar! Sebentar! Itu berarti kita menjadi lampu untuk kita dan sekitar?”

“Betul pak?”

“Bagaimana dengan tanaman yang selama ini memakai produk lampu fotosintesis yang ditempel di setiap dahan?”

“Dengan memasukkan inti neon dan halogen tersebut ke dalam tunas muda, nantinya akan menjadi dahan cahaya yang mampu menjadikan terang pada saat siang dan akan mati ketika pukul 18.00.”

“Ah… kamu ini menghayal?”

“Tidak pak, saya sudah melakukan experiment sebelumnya…”

Kepala ilmuwan perusahaan ini pun menjadi gemas dengan penjelasan Uttama, dan ia pun merasa tersaingi.

“Kamu yakin dengan ini?”

“Seratus persen yakin, bahkan 1000 persen mungkin.”

“Dengan siapa kamu melakukan experiment ini sebelumnya?”

“Saya dan berbagai aliansi ilmuwan cahaya dari berbagai perusahaan, pak!”

“Kapan kamu melakukan ini?”

Sejenak, seisi ruangan terdiam dengan pertanyaan direksi ketiga ini, serta kepala ilmuwan yang memberondong Uttama dengan berbagai pertanyaan.

“Emmmm… saya melakukan experiment ini sepulang kerja saat 1 bulan yang lalu.”

“Kenapa kamu tidak memanfaatkan para ilmuwan yang ada di perusahaan kita, jika kamu memiliki gagasan itu?”

Uttama, seorang project manager yang diberondong pertanyaan ini mendadak pucat karena pertanyaan terakhir. Dalam etika perusahaan, seseorang dilarang melakukan pekerjaan lain di luar. Kini, pertanyaan itu muncul, dan dengan bodoh atau kurang halus saja – Uttama melakukan presentasi yang sesungguhnya solutif ini. Meskipun demikian, Uttama mencoba memutar lidah untuk penjelasan selanjutnya.

“Sesungguhnya, saya justru ingin mencuri ilmu mereka untuk perusahaan kita.”

“Hmmmhh, yang benar saja kalau bicara…”

“Benar, pak… sungguh…”

Sesaat kemudian, direksi pertama membuka sebuah laman absensi yang diproyeksikan ke layar virtual. Terekam foto wajah Uttama beserta data statistic absensinya.

“Hahahaha… sudah izin tidak masuk kerja selama 19 kali dalam 2 bulan terakhir… dan kamu mencoba sok pintar dengan gagasanmu? Masih mending kamu belum dipecat. Selain itu, kamu mencoba berkelit di zaman serba informatif ini? Mustahil…”

“…”

Uttama terdiam dan tak lagi menjawab. Kini, ia harus berhadapan dengan keputusan-keputusan konservatif yang mengatasnamakan kedisiplinan. Uttama memang bukan yang utama dalam hal kedisiplinan kerja. Ya, banyak orang mengatakan bahwa ia adalah sosok misterius yang cenderung malas jika di kantor.

“Jika saya boleh megutarakan sesuatu...”

“Ya… apa?” Jelaskan cepat!”

“Saya masih bersahabat dengan teman-teman saya ketika kuliah dulu, dan saya masih sering ber-experiment dengan mereka. Kini saya akan menawarkan solusi tersebut…”

Belum selesai bicara, pimpinan ilmuwan di perusahaan ini mendadak memotong kalimat Uttama.
“Saudara Uttama, experimentmu itu pasti berbudget rendah bukan? Swasembada? Hmmm… Neon dan Halogen adalah toxin berat jika dimasukkan ke dalam tubuh. Lalu, kamu akan mencoba melawan kodrat sebagai manusia?”

“Saya belum selesai bicara, pak..”

“Tak perlu lah kau selesai bicara…”

Dengan muka masam, Uttama melangkah keluar ruangan tanpa harus membanting pintu ruangan.Para peserta rapat hanya melihat tanpa mengucapkan sepatah kata atau ungkapan.

“Sebaiknya kita pecat saja dia!”

“Jangan! Biarpun dia terlihat malas… Dia masih tetap memantau pekerjaan dari rumah atau dari manapun dia berada. Coba kita beri kesempatan 1 minggu lagi.”

Satu Tahun Selanjutnya
“Project yang ada di perusahaan ini terbengkalai. Permintaan melonjak, tetapi pesaing telah banyak berdatangan dan lampu yang mereka jual lebih bervariatif.” Direksi utama mengeluh terhadap laporan marketing yang diberikan oleh Direktur Komersial.

“Saya jadi teringat lagi kepada Uttama, seorang yang kita pecat setahun lalu.”

Ternyata memang benar. Uttama dipecat oleh karena perdebatan yang terjadi setahun lalu ketika rapat. Uttama tidak melawan, sebab ia memiliki rencana lain terhadap dunia perlampuan.

Di Rumah Sudhodana
“Sudah setahun ini anak kita tidak pernah pulang!” Sudhodana mengeluh demikian kepada istrinya.

“Justru, sudah semestinya anak seusia dia berpisah dari orang tuanya, Kanda… Seharusnya dia sudah memiliki istri, berkeluarga, dan memberikan kita seorang cucu.” Istrinya, Putri Maya, mencoba memberi penjelasan yang mungkin bisa memberikan penghiburan.

“Aku khawatir akan dia. Dia itu sedikit keras kepala dan sering tidak percaya pada orang lain. Dia sering berjalan seturut kehendaknya.”

“Bukan begitu, suamiku… Dia sedang mencari cahaya... di tengah kematian Matahari yang mungkin membuatnya terusik.”

Bhumisparça Mudra
Jauh di sebuah hutan yang terpencil, Uttama duduk bersila. Dia membuat pencahayaan dengan api yang ditudungi oleh kap kaca berintan, sehingga cahaya yang muncul seperti lampu neon pada umumnya. Di tempat inilah, di bawah pohon rindang, Uttama membuka ruang kepada yang Ilahi untuk berbicara dari hati ke hati.

“Sesungguhnya ya Tuhan… mengapa Kau matikan Matahari yang masih dibutuhkan dunia?”

Pertanyaan itu diulang-ulang terus dalam sikap heningnya. Meskipun bagi orang modern, kegiatan Uttama itu hanya membuang waktu. Bagi Uttama, ini adalah satu-satunya jalan. Di tengah penjara teknologi buatan manusia yang mengurung rasa empati, Uttama ingin berkomunikasi dengan Tuhan.

“Sesungguhnya ya Tuhan… mengapa Kau ciptakan Matahari?”

Sesekali, Uttama berjalan ke perkampungan di dekat hutan tersebut untuk meminta makan. Ia yang tadinya bekerja dan berkecukupan, kini harus memohon belas kasihan orang lain. Di tengah perkampungan yang disinari lampu neon raksasa berdiameter 2 km tersebut, Uttama berupaya untuk mengenali perasaan manusia.

“Aku merasa kasihan kepada anak-anak kecil yang terlahir tanpa sempat menikmati sinar Matahari yang sesungguhnya. Mereka hanya tahu sinar lampu neon buatan manusia."

“Ah, ini saatnya aku beranjak… Sepertinya Tuhan tak mau berbicara denganku…Matahari mati dan aku terlalu visioner untuk menciptakan cahaya baru.”

Uttama pun berjalan meninggalkan hutan terpencil melewati perkampungan tempat ia meminta makan. Ia hendak mencari tempat lain dan mungkin beberapa guru spiritual yang bisa diajak diskusi.

Abhaya Mudra
Matinya Matahari membuat manusia haus akan kebijaksanaan. Manusia terkurung dalam nafsu dan keinginan untuk mengeksploitasi bumi secara berlebihan. Ditambah lagi, Manusia harus menciptakan cahaya buatan yang sesungguhnya tidak menjadikan siang lebih baik dari zaman Matahari.

“28 tahun Matahari telah mati…”

Uttama berjalan menuju sebuah taman di dekat perkampungan sisi utara negara ini. Di tengah-tengah perjalanannya, Uttama melihat sebuah tayangan di videotron yang menyajikan berita mengenai matinya lampu neon di desa selatan. Matinya lampu ini membuat masyarakat panik dan terpaksa menggunakan lampu neon pribadi untuk pencahayaan di setiap rumah.

Belum lagi, berita tersebut dilanjutkan dengan berita mengenai perempuan yang diperkosa ramai-ramai oleh 12 pemuda, hingga perempuan tersebut mati. Pemerkosaan itu dilakukan karena kegelapan yang memungkinkan perbuatan keji menjadi tersembunyi. Uttama terpaku menyaksikan videotron tersebut dengan perasaan yang campur aduk.

Ramai sekali beritanya, hingga bahkan berita mengenai kerusakan pulau Sophia, pulau penyedia sumber daya kimia bahan baku lampu neon dan halogen ini meledak oleh karena dikuras habis. Meledaknya pulau ini menyebabkan gelombang besar yang menyapu pantai selatan negara.

“Tuhan, tuanku yang Ilahi… Apakah aku bisa meminta kepadaMu, Tolong nyalakan Matahari kami!”

Di dalam kegelapan yang teramat sangat, manusia kembali berlaku tanpa akal. Syahwat dan apatisme menghiasi perwatakan masa kini. Guru-guru spiritual tak lagi murni mengajarkan kebijaksanaan, melainkan hanya mengejar popularitas semata sebagai, “pelopor pencipta cahaya Matahari yang sesungguhnya.” Namun apa mau dikata? Bukan cahaya Matahari yang nampak diupayakan, melainkan uang yang dikeruk oleh guru-guru spiritual ini begitu besar jumlahnya.  

Uttama melihat gawai elektroniknya dan ia melihat sebuah pesan dari teman kuliahnya dulu.
“Coba kau temui Walikilia, seorang pertapa yang duduk di daun teratai di danau kedamaian.”

Setelah berjalan selama tiga hari tiga malam, Uttama menemukan Walikilia yang sedang terduduk di daun teratai.

Dhyana Mudra
“Selamat datang anakku… kau kah yang bernama Uttama?”
Walikilia menyapa Uttama dengan ramah.

“Bagaimana paduka bisa mengetahui namaku?”

“Perasaan begitu kuat, dan temanmu mengabarkan kepadaku tentang kehadiranmu saat ini.”

“Oh… iya, terima kasih… bolehkah aku beristirahat sejenak?”

“Silakan, nak… minumlah air di bawah teratai ini yang masih ada sedikit rasa Matahari.”

Sejenak Uttama tertegun dengan pernyataan Walikilia. Kemudian, Uttama tidur satu jam lamanya, sembari Walikilia tetap duduk di atas daun teratai.

Setelah bangun, Uttama memulai mengajak bicara Walikilia untuk membuka diskusi mengenai ‘bagaimana membuat cahaya Matahari yang baru.’ Mereka berdiskusi sambil memakan buah-buahan tropis yag mustahil ada di masa matinya Matahari ini. Kesaktian dan kemurnian hati Walikilia membuahkan hal yang sederhana, namun dibutuhkan manusia. Buah-buahan tropis yang ranum ini adalah hasilnya.

“Uttama anakku, kau ingin berdiskusi apa?”

“Guru… kalau andalah yang bisa menghadirkan sepersekian persen dari Cahaya Matahari, mengapakah kau tak tampil ke dunia, dan membuat instalasi Cahaya Matahari di sudut-sudut kota? Niscaya kau akan dicintai umat manusia yang haus akan kebijaksanaan.”

“Anakku, ketika Matahari masih ada dulu, aku selalu menangkap sinarnya dalam batin dan dalam kotak kaca ini. Aku tahu bahwa saatnya akan tiba. Matahari ini memiliki umur.”

“Mengapakah kau hanya diam saja dan tak bersua dengan manusia sekitar?”

“Hmmm… Uttama anakku, kalau aku bersua dengan manusia luar, yang ada aku hanya akan diperebutkan oleh dunia materi. Aku berminat menghadirkan cahaya Matahari kepada mereka, tetapi Tuhan mengisyaratkan bahwa aku bukanlah orang yang tepat. Buktinya, kakiku selalu terkunci di daun teratai ini.”

“Guru, siapakah orang yang tepat? Kalau ada, aku akan mencarinya.”

“Aku belum tahu. Keterbatasanku muncul untuk mencari tahu lebih lanjut.”

“Jika demikian, bolehkah aku belajar kepada kau, bagaimana cara mencipta cahaya yang setidaknya mirip dengan cahaya Matahari?”

“Hendak kau apakan? Jual kah? Untuk dirimu sendiri kah?”

“Tidak… aku hanya ingin membagikannya kepada mereka yang masih terkurung dalam lingkaran syahwat dan apatisme.”

“Kau siap? Aku tahu salah satu ilmunya. Akan tetapi, tanggung jawabnya sangat besar terhadap cahaya Matahari, meskipun sedikit intensitasnya.”

“Aku akan mencoba sekuat tenaga, guru…”

“Baiklah, esok pagi kita mulai… janganlah kau makan apa-apa mulai dari sekarang.”

Jnǡna Mudra
Kedua insan pencari kebijaksanaan tersebut duduk bersila dalam keremang-remangan dengan sedikit cahaya neon di dalam bunga teratai. Meskipun demikian, cahaya neon tersebut tampak seperti cahaya Matahari pagi yang berpendar di celah-celah kelopak bunga Teratai. Uttama memulai duduk sila dan Walikilia ada di hadapannya.

“Uttama, anakku! Kau akan merasa sakit yang teramat sangat saat kuberikan ilmu ruwat surya ini, sakit itu muncul bukan dariku, melainkan dari perasaanmu sendiri… apa kau berani untuk tahan?” Walikilia memulai sesi pagi ini dengan sebuah peringatan dan beberapa syarat.

“Aku harus mencobanya.”

“Kau akan dijatuhi banyak pertanyaan dan kau harus menjawabnya dengan hati…”

“Aku siap melaksanakannya.”

“Atur nafasmu, nak… Ketika kau berhasil melalui segala test ini, kau akan kutinggalkan. Kau akan mampu duduk di atas bunga Teratai, bukan daun Teratai. Kau sendirilah yang menentukan berhasil atau tidaknya ujianmu ini.”

Mereka pun mulai mengatur nafas dan sikap, memejamkan mata, dan memulai sesi ini.

Terang
Pertanyaan : “Siapakah kamu dan apa yang akan kau berikan bagi dunia ini?”
Jawaban : “Aku adalah Uttama, dan aku hanya ingin memberikan suara terbaik yang berasal dari kebaikan hatiku sebagai manusia.”

Sebuah bor besar menembus bahu Uttama dengan mata bor yang bersuhu amat panas. Uttama tampak berkeringat menahan rasa sakit yang muncul dari sayatan bor panas di bahunya.

Pertanyaan : “Mengapa kau ingin Matahari kembali hidup?”
Jawaban : “Karena bagiku, hanya Matahari lah yang dapat memberikan terang yang sejati dan universal bagi seluruh dunia.”

Tiba-tiba, setetes besi cair yang panas menembus telinga Uttama. Uttama tampak bergidik, meringis, dan air matanya meleleh membasahi pipinya. Siksaan ini belumlah selesai.

Pertanyaan : “Akuilah, siapakah kau dan apa yang kurang dari dirimu?”
Jawaban : “Akulah Uttama, dan aku adalah orang egois yang hanya menurut kehendak hatiku saja.”

Sebuah cambuk berduri yang tajam dan membara panas menyabet punggung Uttama. Ia merasakan sakit yang tak mungkin dirasakan oleh manusia, dan menyebabkan mulut Uttama yang terkunci kini terbuka sambil menahan rasa asin darah yang mengalir.

Pertanyaan : “Ketika kau berhasil anakku, apakah kamu mau jika kamu harus mati lebih cepat?”
Jawaban : “Aku tak masalah dengan itu, ketika aku harus mati sekarang, matilah sekarang.”

Sakit itu terus berlanjut dan terus menyiksa. Tak ayal, Uttama yang masih manusia ini berkehendak untuk mengambil segelas air di sampingnya. Namun tangannya terpental dan tubuhnya kembali seperti sikap sediakala.

“Ohhh… Aku harus kuat, aku harus kuat!”

Pertanyaan : “Ini adalah pertanyaan final! Jika jawabanmu itu berasal dari hatimu sendiri, maka kamu akan berhasil mendapatkan ilmu ruwat surya ini. Maka, bagimu sendirilah kau harus berani untuk siap. Menurutmu, apakah Cahaya itu? Jabarkanlah!”

Dalam waktu sejenak, suasana menjadi hening dan terjadi badai lokal yang menerpa tempat Uttama menimba ilmu dengan siksaan ini. Ketika dirasa siap, Uttama mulai memberikan jawabannya.

Jawaban : Cahaya adalah Terang. Terang adalah sebuah ketenangan batin. Ketika lampu neon di rumah ayah saya menyala, maka batin penghuninya akan tenang. Ketika cahaya Matahari terpancar, maka seluruh makhluk di dunia ini akan tenang seperti dahulu. Cahaya Matahari, cahaya batin seluruh makhluk di dunia.”

Sebuah kilat listrik bertegangan tinggi menyambar tubuh Uttama. Uttama terpental jauh dari tempat bertapanya. Sejenak, ia merasakan batas kemanusiaannya muncul. Sekarang, ia sungguh tak tahan merasakan siksaan yang teramat sangat, lapar, haus, dan sakit. Perlahan-lahan, Uttama membuka kedua matanya.

“Guru?” Uttama mencari Walikilia yang sedari tadi dianggap ada bersamanya.

Mata Uttama terasa silau dan tersengat oleh sebuah cahaya panas dari tangannya. Tangannya tampak bersinar terang, dan itulah sinar ultraviolet.

Ia melihat-lihat lagi di sekelilingnya dan ia baru menyadari bahwa ia duduk di bunga Teratai!
Siapakah Walikilia tadi? Sesungguhnya, Walikilia adalah batinnya sendiri.

17 November, Dharmacakra Mudra
“Di belahan timur dunia, telah terjadi sebuah keajaiban. Ini adalah karya Tuhan yang nyata! Pasalnya, negara-negara di belahan timur dunia ini telah mematikan instalasi lampu neon yang dipasang di tiap-tiap distrik. Seorang berjubah kuning menengadahkan tangannya ke udara, dan tampaklah bahwa Matahari yang sudah bertahun-tahun mati ini menampakkan sinarnya perlahan-lahan.”

“Badan antariksa internasional yang dikoordinasi oleh NASA kini memberikan pernyataan yang mengejutkan. NASA memprediksi bahwa sinar ultraviolet masih ada dan dapat dimunculkan kembali dengan sikap yang suci.”

"Saya melihatnya sendiri dengan mata kepala sendiri. Ketika saya dan kameraman hendak masuk ke dalam tempat orang itu mengeluarkan sinar, buru-buru penduduk sekitar melarang kami. Sungguh, kami tidak bermain-main dengan berita ini."

Di rumah Sudhodana, televisi menyala dan dalam waktu sekejap Sudhodana beserta istrinya merasa heboh dengan siaran tv saat ini. 

“Bu, itu anak kita! Itu anak kita yang tak kunjung pulang! Uttama!” Bapak Sudhodana pun heboh berteriak menunjuk-nunjuk acara berita di layar televisi rumahnya.”

Di puncak gunung keutamaan, Uttama menengadahkan tangan dan meruwat Matahari yang telah bertahun-tahun mati.



Bogor, 21 – 22 Mei 2016
Hari Raya Waisak.
Doubt everything, and chase your finest Light.

Semoga semua makhluk berbahagia… Sadhu, Sadhu, Sadhu.

Komentar