Tongtongsot

Bapak ibu sekalian, saya tidak akan berpanjang lebar untuk menceritakan narasi lakon “Petruk Dadi Ratu” pada malam hari ini. Pada intinya, lakon ini bercerita tentang seorang Petruk sebagai salah satu wakil rakyat kecil yang memanifestasikan kemerdekaannya untuk berpangkat raja. Tentunya, Petruk sebagai wakil rakyat kecil pasti bisa menunaikan tugasnya sebagai raja yang adil dan budiman. Nyatanya, Petruk juga terlena oleh kekuasaan hingga ia menyalahgunakan wewenang. Petruk juga sering “suka parisuka”, berpesta pora, dan silau dengan kekuasaan. Hingga akhirnya, kodrat Petruk dikembalikan sebagaimana awalnya : seorang abdi sekaligus pamong. Namun, yang dibawa oleh Petruk bukan merupakan ambisi pribadi. Sekalipun Petruk terlena oleh kekuasaan, hatinya mengatakan tujuan yang mulia untuk mengingatkan para penguasa supaya kembali ke jalan dharma yang sesungguhnya. Petruk menggugat penguasa dan ia membawa pesan peringatan bagi para pengauasa. Lakon inilah yang relevan dengan peringatan hari kemerdekaan Indonesia, tentang sebuah jalur dan pakem yang baku bagi para penguasa yang “pinilih”, yang sesungguhnya.

Itulah pembukaan yang dibacakan oleh seorang filsuf masa kini. Filsuf ini sungguh terkenal di negeri tercinta oleh karena kepiawaiannya dalam bidang sastra, politik, seni, dan sosial-budaya. Sebut saja nama seorang filsuf ini adalah Broto.

Sebelum si Broto memberikan gambaran cerita lakon wayang kulit yang akan dipentaskan malam ini, pembukaan dan sambutan telah didahului oleh seorang menteri yang bekerja untuk kawula muda di negeri tercinta. Menteri ini cukup unik karena memiliki dua sisi kehidupan yang sangat menonjol. Di satu sisi, orang-orang pendukungnya mengatakan bahwa ia adalah menteri yang piawai dan penuh prestasi. Di sisi lain, orang banyak yang tidak terhitung sebagai pendukungnya mengecam dan meyakini bahwa si menteri ini orang yang “kocluk” dengan nilai rapor merah. Maka, pergulatan antarkalangan cendekiawan dan para seniman insan kreatifpun mewarnai pertunjukan wayang kulit semalam suntuk dengan lakon “Petruk dadi Ratu” yang digelar malam ini.

Dalam pembukaan si menteri, sebelum si Broto memberikan narasi singkat tentang Lakon “Petruk Dadi Ratu”, si menteri ini menonjolkan prestasinya dalam membangun kehidupan kawula muda di berbagai wilayah terpencil negeri tercinta. Si menteri ini bahkan sempat membanyol sambil ngomyang dengan nada-nada yang menunjukkan bahwa dialah orang yang unggul, orang yang pinilih untuk jabatannya saat ini. Entahlah apa kebenarannya, yang jelas si menteri ini sungguh-sungguh memiliki dua sisi kehidupan yang sangat bertolak belakang. Si menteri inilah yang mengadakan acara apresiasi seni budaya negeri tercinta yang ditutup dengan pementasan wayang kulit semalam suntuk. Dialah pemodal sekaligus penyelenggara. Dialah yang secara tidak sengaja maupun disengaja telah mengahdirkan kalangan yang anti terhadap dirinya. Apapun yang terjadi, inilah esensi kemerdekaan.
***

Seorang yang buta datang ke pementasan wayang kulit malam ini. Orang ini berbadan sedikit bongsor dengan mengenakan kaos polo berwarna abu-abu lusuh dan bercelana bahan berwarna hitam. Si Buta membawa ransel yang tampak usang dan mengenakan sandal jepit merk swallow. Si buta datang sebagai penikmat wayang kulit. Pementasan wayang kulit memang selalu dihadiri oleh banyak orang dan mereka bebas membawa makanan, tikar, dan banyak pula yang berjualan makanan dan minuman yang menjadi teman menonton. Tak ada tiket, tak ada nomor bangku, si Buta yang lusuh ini pun hadir dengan kemerdekaannya. Si Buta menempati sisi bayangan wayang kulit, tepatnya berada di belakang kelir.

Sebelum pementasan wayang kulit dimulai, para niyaga memainkan gending-gendingpembuka dengan laras pelog atau slendro. Si Buta menggunakan hati dan pendengarannya untuk mendengarkan gending pembuka dan ia merasakan rasasengsem, perasaan katarsis yang dihasilkan dari persatuan antara dirinya dengan gending-gending pembuka. Maka, yang terjadi selanjutnya adalah si Buta ini bernyanyi dengan lantang.

Dengan suara-suara serak akibat penyakit selesma, batuk, dan suara-suara yang dihasilkan dari gesekan rongga tenggorokan dengan lendir kental, si Buta menyanyi dengan nada yang tidak fals. Suaranya bernada pas dan tidak menyandang status falstetapi warna suaranya parau dan terdengar menggelikan bagi sebagian orang di sekitarnya. Si Buta tidaklah peduli sebab dia tidak melihat. Ia hanya mempedulikan persatuan antara dirinya dengan niyaga, dalang, dan waranggana.

(Jejeran Negari Loji Tengara)
Dikisahkan bahwa Petruk telah menjelma menjadi Raja yang Sakti Bergelar Prabu Bel Geduwel Beh. Petruk juga disebut sebagai Prabu Tongtongsot. Sang Prabu berkuasa di negara Loji Tengara. Dalam kerajaannya, ia memerintah dengan adil dan bijaksana sehingga para kawulanya hidup dalam rasa aman, makmur, dan sentausa. Petruk menganggap dirinya berhasil dan oleh karenanya ia memanggil tetua istana beserta patih Jaya Santhika untuk mengutarakan sebuah niat. Petruk ingin menduduki Kerajaan Astinapura demi menggugat raja Duryudana yang berwatak angkara murka.

Lakon telah berjalan. Pementasan telah masuk kepada awalan cerita yang berkisah tentang ambisi Petruk untuk menduduki Kraton Astinapura. Para penonton telah menempatkan dirinya masing-masing di berbagai tempat yang menurut mereka adalah tempat yang nyaman. Si Buta masih berada di tempatnya. Ia mendengarkan dan merasakan permainan sang Dalang. Tak jarang, mulut si buta tampak berkomat-kamit mengikuti antawecana, dialog yang diucapkan oleh sang Dalang. Sekalipun ia hanya berkomat-kamit, ia ikut merasakan adanya sang Petruk di kerajaan Loji Tengara.

Jejeran awal ditutup dengan sebuah gending yang memiliki ritme dinamis dan memungkinkan para penonton untuk bangkit dan berjoget bersama. Gending yang sedang dimainkan adalah sebuah tayungan yang mengisahkan lawatan para jago Loji Tengara untuk menantang negara Astinapura. Si Buta yang selalu mengandalkan pendengaran dan hatinya juga ikut bangkit dan berjoget dengan gayanya sendiri. Si Buta menari dengan gerakan sederhana tetapi semangatnya tinggi. Si Buta tidak berlagak menjadi penari sebab ia hanya menggerakkan badan dan tangannya untuk berayun-ayun ke atas dan ke bawah. Si Buta hanya berjingkat-jingkat sambil mengikuti ritme musik yang dinamis. Akhir ketukan ditandai dengan pukulan kendhang sebanyak tiga kali dan pukulannya sangat keras. Ketika akhir ketukan itu dimainkan, Si Buta ikut menunjukkan ritme gerakannya yang sesuai dengan menjingkatkan seluruh tubuhnya sebanyak tiga kali. Gerakannya besar dan gayengsehingga membuat para penonton yang berada di sekitarnya ikut tertawa oleh karena perilaku si Buta.

Si Buta telah mengetahui ritme dan susunan lagunya. Ia tidak kagok, tidak canggung, dan gerakannya sungguh pas. Sekali lagi, dengan pendengaran dan hatinya, ia merasakan ritme musik yang dimainkan oleh para niyaga. Batin dan perasaannya telah manunggal, nyawiji, bersatu kepada alunan musik.

(Jejeran Negari Astinapura)
Prabu Duryudana dihadapi oleh Prabu Baladewa, Adipati Karna, Patih Sengkuni, Raden Kartamarma, dan Begawan Durna. Sang Prabu menceritakan sebuah ancaman yang diterima oleh negara Astinapura. Ia berkeluh kesah kepada saudara dan para tetua istana tentang ancaman yang datang dari negara Loji Tengara. Sang Prabu mengatakan bahwa ia tidak akan sekali-kali takluk dan kalah kepada raja manapun. Selain itu, Sang Prabu meminta pertolongan semua tetua istana untuk membantu apabila terjadi peperangan antara Astinapura dengan Loji Tengara. Prabu Baladewa pun memasang badannya untuk membantu Prabu Duryudana.

Setelah berjingkat-jingkat dengan seru, si Buta duduk kembali di tempatnya. Ketika duduk, ia dibantu oleh dua orang penonton supaya ia tidak jatuh terjerembab. Bagi si Buta, ia telah memanifestasikan kemerdekaannya untuk menikmati sebuah sajian karya seni. Orang-orang di sekitarnya juga orang-orang yang merdeka. Mereka berhak untuk berjoget, membuang sampah bekas makanan di segala penjuru, membeli minuman dan makanan, bercanda, dan menanggapi sang dalang ketika pertunjukan sedang berlangsung.

Salah satu dari para penonton merdeka ini menghampiri si Buta. Sebut saja nama orang yang mendekati si Buta adalah Orang Merdeka Satu. Orang Merdeka Satu ini mendekati si Buta untuk memastikan kondisinya.

“Pak, sehat-sehat saja toh?” begitulah basa-basi dari Orang Merdeka Satu ini.
“Iya, sehat.” Si Buta hanya menjawabnya singkat.
“Bapak sebaiknya agak pindah ke sebelah barat sana, supaya bapak aman dan tidak tertabrak orang-orang yang sedang bekerja di sini. Di sini banyak kru dan orang yang mengatur tata suara. Bapak sebaiknya di sana saja.”
“Oh, begitu nak?”
“Iya pak, mari saya antar.”
Orang Merdeka Satu ini kemudian membawa si Buta untuk menjauh dari tempatnya. Mungkin dalam hati Orang Merdeka Satu ini jengkel. Memang benar, Orang Merdeka Satu ini begitu jengkel dengan perilaku si Buta yang sering nimbrung, ikut nyanyi, ikut dialog, dan ikut berjingkat-jingkat. Orang Merdeka Satu mengantarkan si Buta jauh ke sebuah ujung gedung yang sunyi dengan harapan si Buta akan tersesat sambil berjalan.

Legalah hati Orang Merdeka Satu ini. Ia kemudian bercengkerama kembali dengan para penonton lainnya.

“Daripada senep-senepke mata, mendingan tak giring ke sana, biar gak usah ke sini sekalian. Orang kok sukanya ganggu orang seneng-seneng.” Begitulah seloroh Orang Merdeka Satu kepada para penonton merdeka yang lainnya.
“Haha… yowislah, sing penting kamu beli kopi dulu sana!”
Orang Merdeka Satu menerima selembar uang sepuluh ribuan untuk membeli kopi sebanyak empat gelas. Orang Merdeka Satu berjalan ke arah timur, tempat para pedagang berkumpul dan menjajakan dagangannya. Ketika Orang Merdeka Satu kembali, ia langsung duduk dan melanjutkan konsentrasinya untuk menikmati wayangan semalam suntuk.

“Sadis juga kamu. Orang cuma seneng-seneng aja kok kamunya yang gak terima?” salah seorang teman Orang Merdeka Satu memulai pembicaraan.
“Masalahnya gini, mas! Kalau dia tahu diri, jelas-jelas dia bakal jatuh, nggelosor, siapa yang repot nanti kalau dia kena kejadian begitu. Lama-lama kan nyebelin.”
“Bener juga. Tapi kita ini juga ganggu para kru dan orang belakang panggung. Lha wongkita duduk dan gelar tikar aja dekat panil sound. Siapa yang bilang kalau kita ini gak halangi-halangi kerja kru? Sama aja lah...”
“Wah... mas kok kayak gak terima? Kalau kita bareng si Buta tadi, yang ada dia lebih ganggu. Penyakitan dan gak tahu diri. Dia cuma modal nekat berani joget. Kalau gak ditunjang penglihatan, dia bisa nabrak orang sound atau kamera yang ngrekam sisi bayangan wayangan ini. Justru saya bawa ke sana itu juga demi keselamatannya.”
“ Hahaha... ah, terserah kamu lah!” teman Orang Merdeka Satu menyudahi pembicaraan yang agaknya cuma bahan celetukan.
Tiba-tiba, terdengar suara gesekan rongga tenggorokan dengan lendir kental dan suara ketukan tongkat di lantai. “ehem..huuk, hueekk...”. Si Buta kembali lagi ke tempatnya. Orang-orang menjadi heran karena naluri Si Buta ini begitu kuat. Pendengarannya menuntun si Buta untuk menemukan tempatnya yang tadi, bukan untuk mencari tempat lain.

“Alaah, Gustiii, dia balik lagi!” Orang Merdeka Satu berbisik mengeluh kepada teman-temannya yang tergabung di tikarnya.
Yowislah, gak usah diributin. Biar saja. Kalau ada apa-apa kan bukan tanggung jawab kita.” Salah seorang teman Orang Merdeka Satu ini mengimbau untuk tidak menggubris keberadaan si Buta.

(Jejeran Cangik-Limbukan)
Dalang mengehentikan laju cerita. Ia mengeluarkan tokoh Limbuk dan Cangik untuk menggelar sapaan awal kepada pemodal acara, para penonton, cendekiawan, dan para seniman yang hadir di pagelaran Wayang Kulitnya. Baginya, ini wajib dilakukan untuk beramah-tamah kepada para pembesar kementrian kawula muda dan para-para yang lainnya.

Dalang menyapa si Broto, Pak Menteri, dan si Gondrong Gentholet. Si Broto adalah filsuf masa kini yang tidak mau berbicara banyak. Si Broto hanya menjawab salam apa adanya dan secara halus mengutarakan niat aslinya untuk menikmati pagelaran cerita, bukan untuk berbicara panjang lebar. Pak Menteri dan si Gondrong Gentholet lah yang banyak bicara pada kesempatan jejeran Cangik-Limbukan. Si Gondrong Gentholet adalah seorang seniman yang terhitung serba bisa, kritis, dan peduli terhadap masalah politik. Masalahnya satu, si Gondrong Gentholet adalah seorang “aku”, “aku” yang abadi, “aku” yang jenius, dan “aku” yang kreatif. Memang benar, tetapi ilmunya bukanlah ilmu padi. Ilmu Si Gondrong Gentholet adalah ilmu balon, makin diisi makin mengembang, tetapi kalau ditusuk jarum pasti pecah.

Pak Menteri masih banyak bicara soal prestasinya sebagai menteri. Pak Menteri pernah menjadi pakar teknologi komunikasi dan ia pun terhitung sebagai orang cerdas. Masalahnya satu, Pak Menteri masih butuh mengupdate pengetahuan supaya ia tidak salah kaprah. Maka, ramailah perbincangan Pak Menteri dengan Si Gondrong Gentholet. Dalang hanya bisa menengahi dan meresume perbincangan atau bahkan perdebatan halus antara Pak Menteri dengan Si Gondrong Gentholet.

“Tadi mas Broto sudah menjawab salam, sekarang giliran aku mau menyapa bekas muridku, Mas Gondrong Gentholet. Assalamualaikum, Selamat Malam, untuk adik sekaligus muridku tercinta, Mas Gondrong Gentholet!” sang Dalang mulai menyapanya.
“Walaikumsalam! Wah bahagianya saya bisa hadir di sini!”
“Wah mas Gondrong, saya itu wayangan di sini kalau ada sampeyan pasti semakin semangat. Dulu mas Gondrong ini murid saya, dia banyak mengembangkan pewayangan dengan isu-isu masa kini dan isu-isu politik.”
“Betul, itulah kenapa saya belajar dari Bapak, seorang guru yang mampu menobatkan para bajingan, begal, dan maling, bukan?”
“Hahaha! Lha itu benar sekali. Sekarang giliran saya menyapa Pak Menteri, selamat malam, assalamualaikum Pak Menteri.” sang dalang pun beralih menyapa pak Menteri.
“Walaikumsalam, wah Ki Super, saya tidak tahu kalau mas Gondrong Gentholet hadir di sini!” Pak Menteri rupanya was-was dengan kehadiran si Gondrong Gentholet. Kewaspadaannya diakibatkan oleh karena pembicaraan si Gondrong Gentholet ini selalu nylekit, menyinggung perasaan, dan seolah-olah Gondrong Gentholetlah yang paling benar, paling jenius. Padahal Gondrong Gentholet juga sering mengungkapkan kebenaran tanpa pernah berkaca pada kehidupan pribadinya.
“Wah, betul Pak Menteri. Saya ini kalau urusan wayangan dari pemodal pejabat pasti hadir. Saya tahu Ki Super ini sejak saya kecil” Gondrong Gentholet pun menjawab pertanyaan Pak Menteri.

“Pak Menteri dan Mas Gondrong, kita hadir di sini untuk merayakan kemerdekaan Indonesia yang ke-69. Bulan lalu kita sudah melaksanakan pilpres. Nyatanya, banyak yang tidak terima dengan hasilnya. Nah itu adalah sikap yang merdeka. Tetapi merdeka juga harus bisa menerima kekalahan dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Kalau saya boleh tahu, hubungan antara urusan politik dengan lakon Petruk Dadi Ratu ini apa?” sang Dalang Ki Super memulai pertanyaannya.

“Begini Ki Super dan Pak Menteri, Petruk itu jadi raja cuma sementara. Presiden pun sementara oleh karena masa jabatannya yang lima tahun. Petruk itu berasal dari kalangan bawah dan tidak memiliki kompetensi apapun untuk menjadi pemimpin. Lakon ini sedikit dilematis. Di satu sisi ada yang menganggap Petruk sebagai manifestasi rakyat kecil dan kuasa yang abadi. Rakyat itu kan tanpa batas. Di sisi lain, ada yang menganggap Petruk itu sebagai lambang korupsi dan ontran-ontran pemerintahan. Kalau Pak Menteri pesan lakon ini kepada Ki Super, pasti ada kaitannya dengan hasil pilpres saat ini. Ngaku aja lah pak Menteri... huehehehe!” Gondrong Gentholet mulai berseloroh untuk membongkar isi otak Pak Menteri.

“Lho, menurut saya lakon ini merupakan sebuah dialog yang serius. Pemimpin akan memimpin dengan baik apabila mendengarkan saran dan nasihat dari sahabatnya, sekalipun sahabatnya itu rakyat kecil. Lakon ini merupakan lakon yang sarat nilai dialog antara kawula dengan rajanya. Ketika kekuasaan itu bengkok, maka rakyatlah yang menyadarkan. Ketika penguasa itu tidak mampu, maka ia akan dikembalikan ke kodrat semula. Saya sebagai menteri memilih lakon ini sebagai bahan renungan.”
“Tapi pak Menteri, alasan pemilihan lakon ini jangan karena tidak terpilih jadi anggota DPR atau anggota tim kerja kabinet. Pak Gembul, capres yang anda dukung di pilpres kemarin bukanlah sesosok Yudhistira, bahkan sosok Petruk pun tidak. Dia tidak bisa dialog, makanya dia juga tidak punya kuping. Takutnya, lakon yang sarat dialog ini tidak jadi dialog. Makanya jangan mengharapkan hasil jerih payah pak Gembul yang menggugat hasil pilpres. Saya cuma mengkhawatirkan satu hal. Pak Menteri ingin meledek pak Cungkring, pemenang pilpres kemarin sebagai sesosok Petruk, pemimpin yang tidak mampu. Mohon maaf lho, Pak Menteri. Huehehehe....”
Ki Dalang Super pun mulai merasakan aura panas dalam pembicaraan ini. Dengan bekal sikap damai, Ki Dalang Super menengahi pembicaraan mereka.

“Mas Gondrong dan Pak Menteri, hidup itu harus mau menerima perbedaan dan mau mengakui keadaan diri. Judul besar kehidupan ini hanyalah menyadari, ngrumangsani. Maka, menurut saya ini, Pak Gembul dan Pak Cungkring itu sebenarnya saling melengkapi. Makanya, dalam dua pagelaran wayang kulit bersama kedua calon itu, saya menganugerahkan tokoh Werkudara kepada Pak Gembul dan Tokoh Yudhistira kepada Pak Cungkring. Semata-mata itu semua untuk ngrumangsani laku, ya tho?”
“Pak Menteri dan Ki Super, sekarang yang jadi raja dari kedua tokoh itu siapa?”
“Lhoh! Yang jelas Yudhistira!”

“Yang terima wayang Yudhistira siapa?” Gondrong Gentholet membanting mereka dengan pertanyaan simpel macam ini.

“Mas Gondrong dan Ki Super, lagi-lagi saya tekankan masalah yang diangkat dalam lakon ini. Lakon ini memberikan renungan tentang jalan dialogis dalam proses kepemimpinan. Jalan dialogis itu menunjukkan perbuatan antarmanusia yang saling melengkapi. Saya pun berlaku demikian. Saya sudah banyak melengkapi pengetahuan staf-staf kementerian untuk potensi seni dan olahraga kawula muda kita. Tanpa bekal pengetahuan yang cukup, perbuatan itu tidak dapat dilakukan. Ini bukan masalah raja adil atau raja bodoh. Ini masalah jalan dialogis.”

“Pak Menteri, tunggu dulu! Ketika anda menjadi pakar telematika, apa yang terjadi dengan urusan Luna Maya itu? Atau anda sudah benar-benar hafal lirik lagu Indonesia Raya? Bagaimana anda bisa melengkapi pengetahuan staf anda?” Gondrong Gentholet masih berargumen dengan dibumbui jarum yang menyakitkan.
“Nah, mas Gondrong ini bisa aja! Hahaha! Itulah mungkin saya ini menjadi MENPORA, Menporak-porandakan... hahaha” Pak Menteri hanya tertawa kecut.

“Iya, makanya Ki Super jangan pakai beskap warna biru. Biru itu kan sudah kalah! hahaha”
“Pak Menteri dan Mas Gondrong, apapun hasilnya, politik itu sesungguhnya barang suci. Politik itu adalah wahyu dari rakyat itu sendiri. Sekarang, mari kita tembangan, macapatan! Hehehe...” Ki Dalang Super ini rupanya pengap dengan aura panas dari obrolan ini.
Begitulah adanya. Itulah perdebatan yang sesungguhnya tidak begitu penting untuk dilanjutkan. Tak ada kata selesai. Sepertinya, masing-masing menikmati kemerdekaannya. Inilah sikap merdeka. Inilah sikap zaman sekarang. Orang negeri tercinta ini makin mencintai sebuah kondisi yang panas dan tidak berujung dingin. Pertempuran halus makin dicintai oleh banyak orang di negeri tercinta.

(Jejeran Rampokan Loji Tengara-Astinapura)
Dalang melanjutkan lakon. Tampaklah para jago Loji Tengara menyerang negara Astinapura. Negara Loji Tengara telah melayangkan surat ke Astinapura. Astinapura membalas dengan tantangan perang. Prabu Bel Geduwel Beh pun melayani tantangan itu. Seluruh jago diadu dan kemenangan berpihak kepada negara Loji Tengara. Prabu Duryudana, Adipati Karna, Begawan Durna, Patih Sengkuni, Raden Kartamarma, dan para jago Astinapura berhasil ditangkap. Prabu Bel Geduwel Beh memenjarakan mereka dan menginterogasi mereka secara halus. Tujuan Prabu Bel Geduwel Beh memenjarakan serta menginterogasi mereka adalah supaya para pembesar istana Astinapura dapat merasakan derita yang dialami oleh rakyat kecil.

Di belakang kelir, si Buta masih duduk sambil menikmati pertunjukan. Meski tidak melihat, si Buta mampu menerka gerakan tangan, peraduan antarwayang, dan dialog yang terjadi. Maka, ia bangkit lagi dan memeragakan gerakan-gerakan wayang itu. Duesss, duarrr, buuk, wusss!!!

Para penonton lain yang merupakan orang merdeka memperhatikan tingkah laku si Buta. Gerakan si Buta tidaklah membahayakan. Yang membahayakan adalah dugaan terjadinya lepas kendali hingga mengakibatkan kerugian kepada para penonton lain. Meskipun demikian, si Buta tahu batasan gerakannya.

Sama saja, orang merdeka banyak yang protes dengan kelakuan si Buta. Sebut saja orang merdeka yang satu ini adalah Orang Merdeka Kedua. Orang Merdeka Kedua mendekati si Buta dengan maksud ingin menggiringnya ke lain tempat dan tidak mengganggu rasa katarsis para penonton yang lainnya.

“Pak, sehat?” Orang Merdeka Kedua berbasa-basi.
“Iya, saya sehat!” Jawab si Buta secara simpel.
“Pak, kalau mau beraksi, baiknya bapak ke panggung pinggir saja. Dekat sana, bapak dapat merasakan aura pertunjukan ini dengan lebih mantap.”
“Oh, begitu ya?”
“Iya pak, mari saya antar.” Orang Merdeka Kedua ini mengantarkan si Buta ke panggung pinggir sebelah kanan.
Orang Merdeka Kedua mengantarkan dengan harapan akan terjadi kejadian yang heboh. Harapan terjahatnya adalah si Buta terus terjatuh dari panggung apabila ia sedang beraksi, ngedan-edanan. Setelah mengantarkan si Buta ke tempatnya yang baru, Orang Merdeka Kedua kembali ke tikar kelompoknya.
“Sadis juga kamu. Tadi bapak Buta itu cuma gerak tangan sambil berdiri. Gerak maju atau mundur saja tidak. Kenapa kamu larang?” tanya salah seorang teman Orang Merdeka Kedua.
“Wah, saya ini cuma memikirkan hal yang heboh. Semua orang berhak berekspresi. Saya juga membantu bapak itu untuk lebih mantap berekspresi.”
“Iya, tapi itu kan membahayakan dia. Dia berada di tempat yang lebih sempit.”
“Hah! Biar saja! Yang penting dia tidak di sini. Tidak mengganggu pandangan dan tidak membuat rasa jijik. Orang Buta dan pilek semacam dia bikin kita semua gupak, tertular virus pileknya. Jelas-jelas pepatah mengatakan : Ojo Cedhak Kebo Gupak!”

(Gara-Gara)
Dalang memunculkan tokoh Gareng, Petruk, dan Bagong. Aneh juga, lakon “Petruk dadi Ratu” saja masih memunculkan Petruk sebagai Punakawan dalam adegan Gara-Gara. Hal itu berarti titipan pesan dan sponsor ada banyak. Ketiga tokoh ini ikut menghibur para pemirsa dengan leluconnya. Gareng, Petruk, dan Bagong hanya membanyol sekilas. Selebihnya, Adegan Gara-Gara diwarnai dengan jogetan dan adu bernyayi bagi Gondrong Gentholet, Pak Menteri, dan para Pesindhen atau Waranggana.

Si Buta menikmati posisi barunya. Gara-Gara pun terjadi dan si Buta menyimak dengan teliti isi Gara-Gara. Ketika ada tembang dan tayungan, dalam kesempatan ini, si Buta ikut merayakannya. Ia bangkit lagi, berdiri, dan berjingkat-jingkat seperti semula. Ia ikut menimbrung dialog para Punakawan. Si Buta sungguh menyimak dengan seksama.

Ki Dalang Super mengingatkan supaya si Buta berhati-hati.
“Walah, pak wut... hati-hati lho pak!” begitulah teguran ki Dalang Super kepada si Buta.
Si Buta disorot kamera dan terlihatlah gerakan-gerakannya yang mengganggu pandangan mata orang-orang merdeka di sana. Pak Menteri menyaksikan gerakan dan aksi si Buta. Dalam hatinya, Pak Menteri tahu bahwa gerakan si Buta ini sederhana dan tidak berbahaya. Mungkin imaji kere yang melekat pada diri si Buta inilah yang mengganggu pandangan. Si Buta berbaju polo abu-abu lusuh, bercelana bahan hitam lusuh, dan bersandal jepit dengan badan bongsor berkulit kusam, sesekali tampak ingus meleleh keluar membahsahi kumisnya yang sedikit beruban – kondisi ini tidak akan diterima oleh Pak Menteri.

“Mas, tolong pak Buta itu diusir saja. Tadi pak Dalang kan sudah kasih peringatan. Ini buat keamanan aja. Kalau dia mau menyimak wayangan, sediakan tempat saja buat pak Buta ini dan jangan dibolehkan jalan-jalan seenaknya. Jangan dibolehkan joget-joget kalau nonton wayang.” Pak Menteri meminta tolong kepada salah seorang staf sekuriti yang merdeka.
Sebut saja staf sekuriti ini Orang Merdeka Ketiga. Dengan sigap dan cekatan, ia menghampiri si Buta, mencengkeram lengannya, dan menurunkannya dari panggung pingir sebelah kanan. Si Buta digiring ke sebelah selatan dan didudukkan pada sebuah kursi milik Tukang Bakso yang ikut berjualan dalam acara pagelaran wayang kulit ini.

“Pak, daripada nanti kenapa-napa, baiknya Bapak di sini saja.” Orang Merdeka Ketiga berbasa-basi kepada si Buta.
“Woo, iya, saya gak boleh di sana?” tanya si Buta.
“Bapak di sini saja. Kalau di sana, bahaya!” Jawab Orang Merdeka Ketiga.
“Enggak kok, saya gak bahaya!”
“Pak, jangan melawan. Ini demi ketertiban!”
Dengan mengacungkan tongkatnya, Si Buta berkata-kata keras setengah berteriak.
“Mas, ini peringatan kemerdekaan! Semua orang di wayangan inipun merdeka. Mereka bebas untuk tiduran, jogetan, gelar tikar, minum kopi, bercanda, merokok, makan pisang rebus, makan mie, atau mau ngapain aja asal tidak ganggu orang yang memang lagi kerja di wayangan ini. Saya cuma joget dan aslinya gak bisa joget. Saya cuma jingket-jingketan, pindah tempat aja juga tidak. Saya cuma ingin menonton wayang kulit ini sekalipun saya tidak bisa melihatnya. Kenapa saya dinyinyiri? Kenapa kemerdekaan saya untuk menonton wayang diganggu? Nyuwun Sewu, saya pulang saja!”

Si Buta pergi dari tempat itu. Ia berjalan gontai dengan tongkat setianya.


Senayan, Jakarta, pergantian malam 16-17 Agustus 2014
Pertunjukan Wayang Kulit Semalam Suntuk “Petruk Dadi Ratu”.
Dirgahayu Indonesia!
A-N-M

Komentar